Senyuman kehidupan

Kamis, Februari 28, 2008

RELASI DAN RELEVANSI ANTARA ILMU, FILSAFAT DAN AGAMA

RELASI DAN RELEVANSI ANTARA ILMU, FILSAFAT DAN AGAMA
Oleh Imam Mawardi
Jalan untuk mencari, menghampiri dan menemukan kebenaran dapat ditempuh dengan jalan, yaitu: ilmu, filsafat dan agama. Ketiga jalan ini mempunyai titik persamaan, titik perbedaan dan titik singgung yang satu terhadap yang lainnnya.
Ilmu Pengetahuan
Sebagai ilustrasi dikisahkan, bertanyalah seorang kawan kepada ahli filsafat yang arif dan bijaksana, “Bagaimana caranya agar saya mendapatkan pengetahuan yang benar?
“Mudah saja”, jawab filosof itu, “Ketahuilah apa yang kau tahu dan ketahuilah apa yang kau tidak tahu” (Jujun, 1990:19).
Dari ilustrasi ini dapat digambarkan bahwa pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu dan merupakan hasil proses dari usaha manusia. Beranjak dari pada pengetahuan adalah kebenaran, dan kebenaran adalah pengetahuan, maka di dalam kehidupannya manusia dapat memiliki berbagai pengetahuan dan kebenaran.
Adapun--sebagaimana dikatakan Burhanuddin Salam (1995:5)--beberapa pengetahuan yang dimiliki manusia, yaitu:
1. Pengetahuan biasa atau common sense.
2. Pengetahuan ilmu atau science
3. Pengetahuan filsafat
4. Pengetahuan religi
Sedang ilmu pengetahuan sendiri mempunyai pengertian sebagai hasil usaha pemahaman manusia yang disusun dalam satu sistematika mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan hukum-hukum tentang hal ikhwal yang diselidiinya (alam, manusia, dan juga agama) sejauh yang dapat dijangkau daya pemikiran manusia yang dibantu penginderaannya, yang kebenarannya diuji secara empiris, riset dan experimental (Anshari, 1979:157).
Filsafat
Endang Saifuddin Anshari, MA (1979:157), mendefiniisikan filsafat sebagai hasil daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami (mendalami dan menyelami) secara radikal dan integral hakikat sarwa yang ada: (a) Hakekat Tuhan; (b) hakekat alam semesta; (c) hakekat manusia; serta sikap manusia termasuk sebagai konsekwensi daripada faham (pemahamnnya) tersebut.
Hal yang menyebabkan manusia berfilsafat karena dirangsang oleh: ketakjuban, ketidakpuasan, hasrat bertanya, dan keraguan kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang dialami manusia dalam kehidupannya (Rapar, 1996:16).
Untuk itulah dalam berfikir filsafat perlu dipahami karakteristik yang menyertainya, pertama, adalah sifat menyeluruh artinya seorang ilmuan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu sendiri, tetapi melihat hakekat ilmu dalam konstalasi pengetahuan yang lainnya, kedua, sifat mendasar, artinya bahwa seorang yang berfikirfilsafat tidak sekedar melihat ke atas, tapi juga mampu membongkar tempat berpijak secara fundamental, dan ciri ketiga, sifat spekulatif, bahwa untuk dapat mengambil suatu kebenaran kita perlu spekulasi. Dari serangkaian spekulasi ini kita dapat memilih buah pikiran yang dapat diandalkan yang merupakan titik awal dari perjelajahan pengetahuan (Jujun, 1990:21-22)
Agama
Agama--pada umumnya-- merupakan (10 satu sistem credo (tata keimanan atau tata keyakinan) atas adanya sesuatu yang mutlak di luar manusia; (20 satu sistem ritus (tata peribadatan) manusia kepada yang dianggapnya mutlak itu; (3) satu sistem norma (tata kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan (Anshari, 1979:158).
Agama berbeda dengan sains dan filsafat karena agama menekankan keterlibatan pribadi. Kemajuan spiritual manusia dapat diukur dengan tingginya nilai yang tak terbatas yang ia berikan kepada obyek yang ia sembah. Seseorang yang religius merasakan adanya kewajiban yang tak bersyarat terhadap zat yang ia anggap sebagai sumber yang tertinggi bagi kepribadian dan kebaikan.
Agama tak dapat dipisahkan dari bagian-bagian lain dari kehidupan manusia, jika ia merupakan reaksi terhadap keseluruhan wujud manusia terhadap loyalitasnya yang tertinggi. Sebaiknya, agama harus dapat dirasakan dan difikirkan: ia harus diyakini, dijelaskan dalam tindakan (Titus, 1987:414).
Titik Persamaan dan Perbedaan
Baik ilmu, filsafat ataupun agama bertujuan--sekurang-kurangnya berurusan dengan hal yang--sama yaitu kebenaran. Namun titik perbedaannya terletak pada sumbernya, ilmu dan filsafat berumur pada ra’yu (akal, budi, rasio, reason, nous, vede, vertand, vernunft) manusia. Sedangkan agama bersumberkan wahyu.
Di samping itu ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan jalan penyelidikan (riset, research), pengalaman (empiri) dan percobaan (eksperimen) sebagai batu ujian. Filasafat menghampiri kebenaran dengan exploirasi akal budi secara radikal (mengakar); tidak merasa terikat oleh ikatan apapun, kecuali oleh ikatan tangannya sendiri bernama logika. Manusia mencari dan menemukan kebenaran dengan dan dalam agama dengan jalan mempertanyakan pelbagai masalah asasi dari atau kepada kitab suci.
Kebenaran ilmu pengetahuan adalah kebenaran positif (berlaku sampai dengan saat ini), kebenaran filsafat adalah kebenaran spekulatif (dugaan yang tidak dapat dibuktikan secara empiri, riset dan eksperimental). Baik kebenaran ilmu maupun kebenaran filsafat kedua-duanya nisbi (relatif). Sedangkan kebenaran agama bersifat mutlak (absolut) karena agama adalah wahyu yang diturunkan Allah.
Baik ilmu maupun filsafat dimulai dengan sikap sanksi dan tidak percaya. Sedangkan agama dimulai dengan sikap percaya atau iman (Annshari, 1996:158-160).

DAFTAR PUSTAKA
Anshari, Endang Saifuddin, Ilmu, Filsafat dan Agama, Surabaya: Bina Ilmu, 1979.
Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, Jakarta: Bumi Aksara, cet. iii, 1995.
Butler, J. Donald, Four Philosophies and Their Practice in Education and Religion, New York: Horper and Brothers, 1951.
Inu kencana Syafi’i, Filsafat kehidupan (Prakata), Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
I.R. Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan, Pengantar ke IImu dan Filsafat, Jakarta: Bina Aksara. 1987.
Jujun S. Sumiasumantri (ed), Ilmu dalam Prespektif, Jakarta: Gramedia, cet. 6, 1985.
----------, Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, Jakarata: Pustaka Sinar harapan, 1990.
Kneller, George F., Movement of Thought in Modern Education, New York: John Witey and Sound, 1984
Rapar, Jan Hendrik, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: kanisius, 1996
Richard Pratte, Conteporary Theories of Education, Scranton, N. J: Intext International Publisher, 1977.
Titus, Harold H., dkk., Living Issues in Philasophy, Terj. H. M. Rasyidi, Persoalan-Persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1987.

Rabu, Februari 27, 2008

KEBENARAN DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU

KEBENARAN DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU
(Pendekatan Teoritik)
Oleh Imam Mawardi
Berbicara tentang kebenaran ilmiah tidak bisa dilepaskan dari makna dan fungsi ilmu itu sendiri sejauh mana dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia. Di samping itu proses untuk mendapatkannya haruslah melalui tahap-tahap metode ilmiah.
Kriteria ilmiah dari suatu ilmu memang tidak dapat menjelaskan fakta dan realitas yang ada. Apalagi terhadap fakta dan kenyataan yang berada dalam lingkup religi ataupun yang metafisika dan mistik, ataupun yang non ilmiah lainnya. Di sinilah perlunya pengembangan sikap dan kepribadian yang mampu meletakkan manusia dalam dunianya.
Penegasan di atas dapat kita pahami karena apa yang disebut ilmu pengetahuan diletakkan dengan ukuran, pertama, pada dimensi fenomenalnya yaitu bahwa ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai masyarakat, sebagai proses dan sebagai produk. Kedua, pada dimensi strukturalnya, yaitu bahwa ilmu pengetahuan harus terstruktur atas komponen-komponen, obyek sasaran yang hendak diteliti (begenstand), yang diteliti atau dipertanyakan tanpa mengenal titik henti atas dasar motif dan tata cara tertentu, sedang hasil-hasil temuannya diletakkan dalam satu kesatuan sistem (Wibisono, 1982). Tampaknya anggapan yang kurang tepat mengenai apa yang disebut ilmiah telah mengakibatkan pandangan yang salah terhadap kebenaran ilmiah dan fungsinya bagi kehidupan manusia. Ilmiah atau tidak ilmiah kemudian dipergunakan orang untuk menolak atau menerima suatu produk pemikiran manusia.
Pengertian Kebenaran
Maksud dari hidup ini adalah untuk mencari kebenaran. Tentang kebenaran ini, Plato pernah berkata: “Apakah kebenaran itu? lalu pada waktu yang tak bersamaan, bahkan jauh belakangan Bradley menjawab; “Kebenaran itu adalah kenyataan”, tetapi bukanlah kenyataan (dos sollen) itu tidak selalu yang seharusnya (dos sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk ketidakbenaran (keburukan). Jadi ada 2 pengertian kebenaran, yaitu kebenaran yang berarti nyata-nyata terjadi di satu pihak, dan kebenaran dalam arti lawan dari keburukan (ketidakbenaran) (Syafi’i, 1995).
Dalam bahasan ini, makna “kebenaran” dibatasi pada kekhususan makna “kebenaran keilmuan (ilmiah)”. Kebenaran ini mutlak dan tidak sama atau pun langgeng, melainkan bersifat nisbi (relatif), sementara (tentatif) dan hanya merupakan pendekatan (Wilardo, 1985:238-239). Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu dengan bidang-bidang kehidupan. Kebenaran merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri. Dengan demikian maka pengabdian ilmu secara netral, tak bermuara, dapat melunturkan pengertian kebenaran sehingga ilmu terpaksa menjadi steril. Uraian keilmuan tentang masyarakat sudah semestinya harus diperkuat oleh kesadaran terhadap berakarnya kebenaran (Daldjoeni, 1985:235).
Selaras dengan Poedjawiyatna (1987:16) yang mengatakan bahwa persesuaian antara pengatahuan dan obyeknya itulah yang disebut kebenaran. Artinya pengetahuan itu harus yang dengan aspek obyek yang diketahui. Jadi pengetahuan benar adalah pengetahuan obyektif.
Meskipun demikian, apa yang dewasa ini kita pegang sebagai kebenaran mungkin suatu saat akan hanya pendekatan kasar saja dari suatu kebenaran yang lebih jati lagi dan demikian seterusnya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan manusia yang transenden,dengan kata lain, keresahan ilmu bertalian dengan hasrat yang terdapat dalam diri manusia. Dari sini terdapat petunjuk mengenai kebenaran yang trasenden, artinya tidak henti dari kebenaran itu terdapat diluar jangkauan manusia.
Teori-Teori kebenaran
Untuk menentukan kepercayaan dari sesuatu yang dianggap benar, para filosof bersandar kepada 3 cara untuk menguji kebenaran, yaitu koresponden (yakni persamaan dengan fakta), teori koherensi atau konsistensi, dan teori pragmatis.
Teori Korespondensi
Ujian kebenaran yang dinamakan teori korespondensi adalah paling diterima secara luas oleh kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita obyektif (fidelity to objective reality). Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri, atau antara pertimbangan (judgement) dan situasi yang pertimbangan itu berusaha untuk melukiskan, karena kebenaran mempunyai hubungan erat dengan pernyataan atau pemberitaan yang kita lakukan tentang sesuatu (Titus, 1987:237).
Jadi, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori korespondensi suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut (Suriasumantri, 1990:57). Misalnya jika seorang mahasiswa mengatakan “kota Yogyakarta terletak di pulau Jawa” maka pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan itu dengan obyek yang bersifat faktual, yakni kota Yogyakarta memang benar-benar berada di pulau Jawa. Sekiranya orang lain yang mengatakan bahwa “kota Yogyakarta berada di pulau Sumatra” maka pernnyataan itu adalah tidak benar sebab tidak terdapat obyek yang sesuai dengan pernyataan terebut. Dalam hal ini maka secara faktual “kota Yogyakarta bukan berada di pulau Sumatra melainkan di pulau Jawa”.
Menurut teori koresponden, ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai hubungan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan, oleh karena atau kekeliruan itu tergantung kepada kondisi yag sudah ditetapkan atau diingkari. Jika sesuatu pertimbangan sesuai dengan fakta, maka pertimbangan ini benar, jika tidak, maka pertimbangan itu salah(Jujun, 1990:237).
Teori Koherensi
Berdasarkan teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar (Jujun, 1990:55)., artinya pertimbangan adalah benar jika pertimbangan itu bersifat konsisten dengan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya, yaitu yang koheren menurut logika.
Misalnya, bila kita menganggap bahwa “semua manusia pasti akan mati” adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “si Hasan seorang manusia dan si Hasan pasti akan mati” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.
Seorang sarjana Barat A.C Ewing (1951:62) menulis tentang teori koherensi, ia mengatakan bahwa koherensi yang sempurna merupakan suatu idel yang tak dapat dicapai, akan tetapi pendapat-pendapat dapat dipertimbangkan menurut jaraknya dari ideal tersebut. Sebagaimana pendekatan dalam aritmatik, dimana pernyataan-pernyataan terjalin sangat teratur sehingga tiap pernyataan timbul dengan sendirinya dari pernyataan tanpa berkontradiksi dengan pernyataan-pernyataan lainnya. Jika kita menganggap bahwa 2+2=5, maka tanpa melakukan kesalahan lebih lanjut, dapat ditarik kesimpulan yang menyalahi tiap kebenaran aritmatik tentang angka apa saja.
Kelompok idealis, seperti Plato juga filosof-filosof modern seperti Hegel, Bradley dan Royce memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi dunia; dengan begitu maka tiap-tiap pertimbangan yang benar dan tiap-tiap sistem kebenaran yang parsial bersifat terus menerus dengan keseluruhan realitas dan memperolah arti dari keseluruhan tersebut (Titus, 1987:239). Meskipun demikian perlu lebih dinyatakan dengan referensi kepada konsistensi faktual, yakni persetujuan antara suatu perkembangan dan suatu situasi lingkungan tertentu.
Teori Pragmatik
Teori pragmatik dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yangberjudul “How to Make Ideals Clear”. Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan adalah berkebangsaan Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli filasafat ini di antaranya adalah William James (1842-1910), John Dewey (1859-1952), George Hobart Mead (1863-1931) dan C.I. Lewis (Jujun, 1990:57)
Pragmatisme menantang segala otoritanianisme, intelektualisme dan rasionalisme. Bagi mereka ujian kebenaran adalah manfaat (utility), kemungkinan dikerjakan (workability) atau akibat yang memuaskan (Titus, 1987:241), Sehingga dapat dikatakan bahwa pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Pegangan pragmatis adalah logika pengamatan dimana kebenaran itu membawa manfaat bagi hidup praktis (Hadiwijono, 1980:130) dalam kehidupan manusia.
Kriteria pragmatisme juga diergunakan oleh ilmuan dalam menentukan kebenaran ilmiah dalam prespektif waktu. Secara historis pernyataan ilmiah yang sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan dengan masalah seperti ini maka ilmuan bersifat pragmatis selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar, sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian, disebabkan perkembangan ilmu itu sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan (Jujun, 1990:59), demikian seterusnya. Tetapi kriteria kebenaran cenderung menekankan satu atu lebih dati tiga pendekatan (1) yang benar adalah yang memuaskan keinginan kita, (2) yang benar adalah yang dapat dibuktikan dengan eksperimen, (3) yang benar adalah yang membantu dalam perjuangan hidup biologis. Oleh karena teori-teori kebenaran (koresponden, koherensi, dan pragmatisme) itu lebih bersifat saling menyempurnakan daripada saling bertentangan, maka teori tersebut dapat digabungkan dalam suatu definisi tentang kebenaran. kebenaran adalah persesuaian yang setia dari pertimbangan dan ide kita kepada fakta pengalaman atau kepada alam seperti adanya. Akan tetapi karena kita dengan situasi yang sebenarnya, maka dapat diujilah pertimbangan tersebut dengan konsistensinnya dengan pertimbangan-pertimbangan lain yang kita anggap sah dan benar, atau kita uji dengan faidahnya dan akibat-akibatnya yang praktis (Titus, 1987:245).

DAFTAR PUSTAKA

Awing, A.C., The Fundamental Questions of Philosophy, London: Routledge and Kegan Paul, 1951.
Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, Jakarta: Bumi Aksara, cet. iii, 1995.
Butler, J. Donald, Four Philosophies and Their Practice in Education and Religion, New York: Horper and Brothers, 1951.
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat II, Yogyakarta: Kanisius, 1980.
Inu kencana Syafi’i, Filsafat kehidupan (Prakata), Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
I.R. Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan, Pengantar ke IImu dan Filsafat, Jakarta: Bina Aksara. 1987.
Jujun S. Sumiasumantri (ed), Ilmu dalam Prespektif, Jakarta: Gramedia, cet. 6, 1985.
----------, Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, Jakarata: Pustaka Sinar harapan, 1990.
Kneller, George F., Movement of Thought in Modern Education, New York: John Witey and Sound, 1984
Koento Wibisono, Arti Perkemabangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte, Yogyakarta: Gadjah Mada Univercity Press, cet. ke 2, 1982.
-----------, Hubungan Filsafat, Ilmu Pengetahuan dan Budaya, makalah Pengantar kuliah Filsafat Ilmu, (t.t., t.tp.).
Rapar, Jan Hendrik, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: kanisius, 1996
Richard Pratte, Conteporary Theories of Education, Scranton, N. J: Intext International Publisher, 1977.
Titus, Harold H., dkk., Living Issues in Philasophy, Terj. H. M. Rasyidi, Persoalan-Persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1987.

Rabu, Februari 20, 2008

CERMIN HATI

Cermin Hati
Oleh Imam Mawardi El-Razal

”…hati adalah cermin, tempat pahala dan dosa berpadu.” (Bimbo)

Hati menjadi sandaran ketulusan, keikhlasan, kesabaran dan tentunya juga cinta. Orang yang hatinya bersih selalu dapat menetramkan orang-orang disekitarnya, artinya dapat membawa kedamaian, kesejukan sekaligus kehangatan. Kalau seseorang hatinya bersih akan memancar cahaya diaura wajahnya, karena keikhlasan mampu mengikat kebencian dan melenturkan amarah. Tentunya harus melalui proses bagaimana seseorang akan menemukan inti kedamaian, tidak lain harus sering muhasabah dan tazkiyatun nafs. Sebagaimana firman Allah, ”.....Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati akan menjadi tenteram,” (Ar-Ra’d:28).

Hati sendiri dalam bahasa Arabnya disebutkan sebagai Al-qalbu, dengan makna al-lubbu yang artinya hati, isi, lubuk hati, jantung, inti. Al-Qalbu juga dapat dimaknai sebagi Al-aqlu yang artinya akal. Sedang Sidi Gazalba mendefinisikan bahwa hati bagian dari Akal. Karena akal menurutnya adalah perpaduan harmonis antara rasio dan rasa. Rasio landasannya adalah otak sedangkan rasa landasannya adalah hati.

Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, banyak membahas masalah hati. Menurutnya bahwa dalam diri manusia terdapat empat macam sifat, yaitu sabu’iyah (kebuasan), bahimiyah (kebinatangan), syaithaniyan (kesetanan), dan rabbaniyah (ketuhanan). Semua sifat itu berkumpul dalam hati. Masing-masing berebut pengaruh, tergantung manusianya sendiri, sifat mana yang akan dipilih untuk mewarnai dirinya. Jika sifat rabbaniyahnya berhasil mengalahkan dan mengendalikan ketiga nafsu yang lain, maka yang akan timbul adalah sifat-sifat yang baik, seperti iffah (menjaga diri), qana’ah (merasa cukup), istiqamah (konsisten), sakinah (tenang), zuhud (tidak suka dunia), wara’ (menjauhi perbuatan dosa dan syubhat), takwa, gembira, malu, jujur, berani, dermawan, suka menolong, sabar, tahan menderita dalam perjuangan hidup, memafkan, teguh pendirian, mulia, cerdas dan sebagainya.

Nabi saw bersabda, ”Hati itu ada empat, yaitu hati yang bersih, di dalamnya ada pelita yang bercahaya, maka itu adalah hati orang mukmin. Dan, hati yang hitam lagi terbalik maka itu adalah hati orang kafir, dan, hati yang tertutup yang terikat tutupnya maka itu adalah hati orang munafik serta hati yang dilapis yang di dalamnya ada iman dan nifak.” (HR Ahmad dan Thabrani)

Perbuatan seseorang dalam pergaulan sehari-hari akan menentukan gambaran hati orang tersebut sebagaiman teori cerminnya Al-Ghazali, hati ibarat cermin, kalau setiap hari dibersihkan dengan taubat dan amal shalih, hati akan gemilang dan akan sanggup memantulkan cahaya dengan baik, bahkan seseorang bisa melihat dinya sendiri dengan baik sehingga mampu mewujudkan nilai-nilai ilahiyah dalam kehidupannya, sebagaimana pepatah Arab, ”man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu” siapa yang mengenal dirinya, maka sesungguhnya dia kan mengenal Tuhannya. Di samping itu pula perbuatan baik akan menambah jelas cermin hati, cahayanya dan cemerlangnya, sehingga kebenaran akan bersinar dalam hati. Kata Rasulullah, ”Apabila Allah menghendaki kebajikan kepada seseorang hamba, maka Dia akan menjadikan penasehat baginya dari hatinya.” (HR. Ad-Dailami).

Sebaliknya perbuatan jahat, jelek dan tercela akan memburamkan cermin dan menimbulkan kerak yang semakin lama akan sulit dibersihkan, sehingga hati tidak bisa lagi digunakan untuk bercermin dan mencari jawaban atas hakikat perbuatannya. Ia menjadi terhijab dari rahmat dan hidayah Allah.swt. Sebagaimana Allah berfirman,”Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya yang mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (Al-Muthaffifin: 14). ”....kalau Kami menghendaki, tentu kami azab mereka karena dosa-dosanya dan Kami kunci mati hati mereka sehingga mereka tidak dapat mendengar (pelajaran) lagi.’ (Al-A’raf:100)

Biar hati tidak terkunci mati, seseorang harus sering membersihkan kotoran dan noda yang menempel di hati. Jangan menunggu waktu, mulailah saat ini dengan istigfar dan menjalankan perintah Allah serta menjauhi segala yang dilarang-Nya. Karena kalau dosa-dosa kecil menjadi kebiasaan akan menggumpal menjadi dosa besar, dan apabila sudah menggumpal besar kebenaran akan jauh darinya, nasehat-nasehat kebajikan agama akan terpental tidak mempan lagi dan lagi tidak bisa bertanya kepada suara hatinya apabila sebuah permasalahan datang, serta sulit mengambil kesimpulan kebijaksanaan dalam memproses hidup sehingga tidak bermanfaat bagi dirinya sendiri apalagi orang bvanyak. Sebab hati yang mati tertutup dari rahmat Allah swt. (mawardy)

Selasa, Februari 19, 2008

SEJENAK ..... istirah

Sejenak …..
Mawardy El Razal

Setiap peristiwa dari kehidupan ini, tidak lepas dari hukum alam. Apa yang kita perbuat selalu ada konsekwensinya, menyenangkan atau menggelisakan, membahagiakan atau menyedihkan. Dalam proses seperti itu, kepintaran, kepandaian, kematangan tidak akan bisa memberikan nuansa yang lebih berarti kecuali sekedar menghibur diri sejenak. Tetapi apa yang mampu bisa kita berikan pada kehidupan ini, senyum tulus dan keikhlasan yang menyertai pergaulan dan pemberian akan lebih berarti, meskipun kadang kita harus melepaskan suatu yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kehidupan kita sendiri. Artinya ikatan emosional apa pun yang mengikat tradisi hidup kita tidak harus menjadikan kita terbelenggu dengan logika yang seakan-akan pasti terwujud. Misalnya perasaan hati, bagaimana mekanisme mengelolanya? Padahal selalu saja perasaan memberikan pertimbangan bukan logika. Mungkin ini penempatan yang salah kaprah. Ingat kapan logika berperan, dan bagaimana perasaan digunakan.

Dialektika kehidupan kalau kita fahami lebih jauh akan mengantarkan pada pilihan-pilihan, meskipun kita tahu bahwa ideal pilihan hanya ada dalam hayalan, misalnya pekerjaan yang mapan, istri yang cantik, suami yang ganteng, anak yang baik-baik dan seabrek keinginan lainnya yang seakan menjadi hantu dalam pemikiran dan perasaan kita tumplek bleg di dalamnya. Tetapi sungguh, persoalannya tampaknya bukan pada kenyataan pilihan yang harus kita jalani. Dalam perspektif keimanan, proses hidup yang digariskan-Nya untuk siapapun maklukNya adalah sempurna, di sini kita harus yakin. Namun yang menjadi persoalannya adalah ketiadaan keberanian moral untuk percaya dan yakin, bahwa semua kenyataan yang menekan jiwa dan membelenggu fikiran itu, pada dasarnya adalah baik, sayang kita tidak pernah tahu kadar dan ukuran makna baik dalam perspektif Tuhan. Sang Penyayang tampaknya ingin menyatakan bahwa bergantung kepada siapa pun dan apa pun yang berujud dalam ciptaanNya, adalah kesia-siaan belaka. Bergantung kepada kekuatan diri, kemampuan fikiran dan kepekaan perasaan pun hanyalah kekonyolan dialektika yang ujungnya kesesatan yang nyata, kalau tanpa dimbangi keyakinan akan kasih-sayang kebenaran Tuhan dam mengimplementasikan bentuk ikhtiar, yang di dalamnya ada tautan usaha, keyakinan diri dan doa harapan dan kepasrahan setelah apa yang telah diusahakan.

Hanya Allah sumber ketentraman, meskipun Allah menawarkan pilihan-pilihan (faalhama fujuraha wa taqwaha) dalam kehidupan kita, ada tawazun keseimbangan, kebahagiaan dan kekuatan yang sebenarnya. Seperti yang dikatakan Sufi Abdul Jabar Al-Nifari, Tuhan seperti berkata, ”Ketika kau merasa paling lemah diantara yang lemah..., tidakkah kau merasakan Cinta-Ku?” Demikain ada kesejukan tidak hanya dalam pengampunan tetapi jua dalam penyertaan kasih sayang ridla-Nya, di setiap aktifitas keseharian kita. Ada harapan.... dalam cinta-Nya.Dalam proses hidup, harapan harus diukir dalam sebentuk cahaya doa, ingatlah ketika Allah Sang Maha Cinta berfirman, ”Inna ma’al usri yusra, Sesungguhnya setelah/ bersama kesuliatan pasti bersama /diikuti kemudahan”.
Lantas, demikianlah; kompleksitas kehidupan harus mampu kita jalani dan kita baca, bagaimana dalam tangisan ada senyuman, bagaimana cara kita bekerja, bagaimana coloteh bahasa anak-anak, harus menjadi warna yang mengiringi nilai syukur kita. InsyaAllah..... demikian ini menjadikan kita mapan hati, lepas dari ketergantungan siapa pun dan apa pun nakluk-Nya. Kecuali kepada-Nya kita sandarkan ketergantungan itu sendiri, yang selalu jaga menyertai kita dan tidak membiarkan kita dalam keterpurukan. Bahkan Dia memberi ujian sebagai bentuk kasih sayang-Nya tidak lepas dari kekuatan kemampuan hamba-Nya. Inna shalati wanusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil ’alamin Sesungguhnya shalatku, ibadah pejuanganku hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Sang Sandaran Hidup Tuhan penguasa semesta Alam. Amin.

Sabtu, Februari 16, 2008

KULIAH: Ilmu Pendidikan

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG
FAKULTAS AGAMA ISLAM
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

RENCANA PROGRAM PERKULIAHAN

I. IDENTITAS
A. Mata Kuliah
1. Nama Mata Kuliah : ILMU PENDIDIKAN
2. Komponen/ Kode : MKK 200040114
3. Bobot : 3 sks
4. Hari/ Jam Kuliah : Rabu/ 09.30-12.00 (Reg)
5. Ruang Kuliah : C-309

B. Identitas Dosen
1. Nama : IMAM MAWARDI, M.Ag
2. NIS/NIP : 017308176
3. Alamat : Perum Bumi Gemilang Blok C-1 RT 01/ RW XIV Banjarnegoro, Mty, Kab. Magelang
Telp./ HP : 0293-3215694 / 081 225 144 62
4. Hari/ Jam Konsultasi : Senin- Jum at/ Jam kerja

II. DESKRIPSI MATA KULIAH
Mata kuliah Ilmu Pendidikan merupakan suatu disiplin ilmu dasar untuk membekali mahasiswa prodi PAI dalam memahami seluk-beluk dunia kependidikan pada umumnya secara komprehensif sebagai dasar menempuh mata kuliah yang berhubungan dengan persoalan-persoalan kependidikan yang ada dalam struktur kurikulum. Untuk itu, mata kuliah ini memberikan dasar-dasar pendidikan, membahas pandangan tentang kependidikan, hakekat manusia, factor-faktor kependidikan, pendidikan sepanjang hayat, hubungan kebudayaan dengan kependidikan, system pendidikan nasional, pendidikan dalam masyarakat madani, inovasi pendidikan dan paradigma pendidikan masa depan. Kesemuanya itu diharapkan dapat memberikan wawasan kerangka berfikir mahasiswa sebagai calon pendidik.
III. KOMPETENSI STANDAR
Mahasiswa mampu memahami dasar-dasar kependidikan secara komprehensif sebagai modal dasar pengembangan wawasan dan kerangka berfikir untuk mempelajari ilmu-ilmu yang berhubungan dengan didaktik metodik dalam mendesain bangunan pendidikan.
IV. KOMPETENSI DASAR
1. Memahami konsep dasar epistimologi pendidikan Islam
2. Memahami Kurikulum Pendidikan Islam
3. Memahami pendekatan dan metode pendidikan Islam
4. Memahami peran evaluasi dalam pendidikan Islam
5. Menjelaskan pelaku pendidikan Islam
6. Menjelaskan peran lingkungan dan lembaga pendidikan Islam
7. Memahami pola pengembangan dan pembaharuan Pendidikan Islam
IV. INDIKATOR HASIL BELAJAR
1. -Mampu menjelaskan pengertian, ruang lingkup dan kegunaan ilmu pendidikan Islam sebagai konsep dasar
-Mampu menjelaskan dasar dan tujuan pendidikan Islam dalam konsep epistimologi
2. Mampu menjelaskan fungsi kurikulum berdasarkan situasi dan kondisi anak didik, kebutuhan dan perkembangan masyarakat.
3. Mampu menguraikan macam-macam pendekatan dan metode pendidikan Islam dalam interaksi pembelajaran
4. Mampu menjelaskan peran evaluasi sebagai alat kontrol dan pengembangan system pendidikan Islam
5. -Mampu menjelaskan anak didik berdasarkan kebutuhan psikologis dan pola pengembangan kepribadiannya.
-Mampu menjelaskan tentang pendidik dan karakteristiknya berdasarkan peran, tugas dan tanggung jawab dalam mentransformasikan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kepada anak didik.
6. -Mampu menjelaskan macam-macam lingkungan pendidikan Islam dan menghubungkannya secara sinergi.
-Mampu menganalisa pentingnya peran kelembagaan pendidikan Islam (informal, formal dan formal) dalam memghadadapi tantangan global.
7. -Menjelaskan model penelitian dan pengembangan pemikiran dalam memformulasikan konsep system pendidikan Islam
-Mendiskusikan system pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia
V. PRASYARAT
VI. TIME LINE & TOPIK PERKULIAHAN

I. INTRO TO SUBJECT MATTER AND LEARNING CONTRACT
II & III TINJAUAN TENTANG PENDIDIKAN (pengertian pendidikan, terjadinya proses pendidikan, kewibawaan seorang pendidik, perbedaan pendidikan dan pengajaran, aliran pendidikan, unsur-unsur pendidikan)
IV HAKEKAT MANUSIA DALAM PENDIDIKAN (hakekat manusia, pentingnya pendidikan bagi manusia)
IV PENDIDIKAN SEPANJANG HAYAT
V & VI FAKTOR / KOMPONEN PENDIDIKAN (anak didik, pendidik, lingkungan pendidikan, tujuan pendidikan, alat pendidikan)
UJIAN TENGAH SEMESTER
VII & VIII SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL (mengupas UU no 20 th 2003 tentang sisdiknas, UU no 14 th 2005 tentang guru dan dosen, 4 pilar pendidikan dan 5 prinsip dasar toleransi menurut UNESCO)
IX & X HUBUNGAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN (hubungan pendidikan dan kebudayaan, transmisi kebudayaan, pendidikan dalam proses pembudayaan, pendidikan merupakan agen pembaharuan)
XI PENDIDIKAN DALAM MASYARAKAT MADANI
XII & XIII INOVASI PENDIDIKAN DAN PARADIGMA PENDIDIKAN MASA DEPAN (hakekat inovasi, pendidikan berwawasan global, IQ-EQ-SQ, pembelajaran unggul, PAUD)
XIV Revieu Perkuliahan
XV Minggu Tekun
UJIAN AKHIR SEMESTER

VII. STRATEGI PERKULIAHAN
Kegiatan perkuliahan ini lebih banyak didasarkan pada collaborative learning, meskipun demikian individual learning tetap akan digunakan sesuai dengan tujuan materi yang dipelajari. Untuk itu strategi perkuliahan yang digunakan antara lain: interactive lecturing, every one is a teacher here, card sort, the power of two, reading guide/ study guide, synergetic teaching, point counterpoint, dan jigsaw learning.

VIII. TAGIHAN
Penugasan bersifat Kelompok dan individual
• Penugasan Kelompok : makalah topik, pembahasan hasil diskusi
• Penugasan individu : Book review, dll.

IX. EVALUASI
Penilaian akhir/ final didarkan pada unsure-unsur sebagai berikut:
• Ujian Tengah Semester 30 persen
• Ujian Akhir Semester 40 persen
• Tugas dan partisipasi kelas 20 persen
• Presensi 10 persen
X. REFERENSI
Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2002.
H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani di Indonesia (strategi Reformasi Pendidikan Nasional), Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999
Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan (edisi revisi), Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.
Imam Barnadib, Dasar-Dasar Kependidikan: memahami makna dan perspektif beberapa teori pendidikan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996
Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21, Yogyakarta: Safira Insania Press dan MSI UII, 2003.
Sutari Imam Barnadib, Pengantar Ilmu Mendidik Anak-Anak, Yogyakarta: IKIP Yogya, 1968
Yudrik Yahya, Wawasan Kependidikan, Departemen Pendidikan Nasional, 2003
Zamroni, Paradigma Pendidikan masa Depan, Yogyakarta: BIGRAF Publising, 2000



Magelang, September 2007
Dosen pengampu

Imam Mawardi, M.Ag

MENDIDIK ESQ 2: POLA ASUH ALTERNATIF TERHADAP ANAK

MENDIDIK ESQ 2: POLA ASUH ALTERNATIF TERHADAP ANAK
Imam Mawardi

Konsep pendidikan dalam pengembangan ESQ, tidak lepas dari peran pendidikan itu sendiri dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang unggul dalam ilmu, santun dalam pergaulan, tanggap, kreatif, arif dan bijaksana dalam mensikapi persoalan-persoalan yang muncul belakangan. Dengan kata lain, menghasilkan manusia yang utuh, yaitu memiliki kematangan intelektual, sosial, emosi dan spiritual. Hal ini selaras dengan UU Nomor 20 Tahun 2003, tentang fungsi dan tujuan pendidikan:”Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Oleh sebab itu, perlu diperhatikan bagaimana mengupayakan pola asuh dan strategi pendidikan yang tepat bagi anak didik.
Pola asuh --sebagaimana yang dikatakan Asmadi Alsa (2002)-- adalah perlakuan yang diberikan kepada anak dalam rangka memberikan kasih sayang, perlindungan, bimbingan, pengarahan, dan pendidikan dalam kehidupan sehari-hari serta bagaimana sikap orang tua dalam hubungan dengan anak-anak. Ada 3 macam pola asuh yang umum dikenal dalam masyarakat, yaitu pola asuh permisif, pola asuh otoriter dan pola asuh demokratis.
Pola asuh permisif adalah pola asuh dimana tidak ada control dari orang tua terhadap prilaku anak, sehingga anak memiliki kebebasan yang longgar dalam memilih dan menjalankan aktivitasnya. Sebaliknya pola asuh otoriter, orang tua melakukan kontrol ketat terhadap perilaku anak dengan menentukan seluruh kebijaksanaan, banyak memberi perintah, anak tidak boleh berpendapat dan memberikan kritik, anak harus mengikuti pendapat dan keinginan orang tua. Jadi kekuasaan mengatur prilaku anak sepenuhnya terletak pada orang tua.
Pola asuh demokratis adalah pola asuh dimana orang tua melibatkan anak dan anggota keluarga dalam pengambilan keputusan tentang aktivitas yang akan dilakukan anak, memberikan bimbingan dan pengarahan pada anak untuk mencapai tujuan. Anak boleh mengemukakan pendapat, berdiskusi dengan orang tua, menentukan dan menagambil keputusan bagi aktivitasnya, akan tetapi orang tua tetap memberikan kontrol atas prilaku anak, bahkan anak-anak perlu mendapat persetujuan dari orang tua. Pola ini menghasilkan suasana sehat, membentuk rasa aman anggota keluarga, dan rasa ikut berpartisipasi dalam kegiatan keluarga.
Dari ketiga pola asuh tersebut dalam menumbuhkan kepribadian anak yang cerdas secara emosional dan spiritual, orang tua yang bijaksana akan menerapkan pola asuh yang sama untuk semua situasi, akan tetapi disesuaikan deangan karakteristik atau tahap perkembangan anak dan untuk tujuan apa pola pengasuhan diterapkan. Misalnya dalam menumbuhkembangkan kedisiplinan atau akhlak mulia pada anak sebaiknya menggunakan pendekatan yang berbeda dengan mengembangkan kreativitas.
Dalam proses pengembangan ESQ anak, ada 4 alternatif pola asuh yang tepat yang sesuai dengan tingkat kematangan anak:
1. Pola Asuh Telling, yaitu pola asuh yang cenderung memberi arahan pada anak. Pola ini lebih cocok diterapkan pada anak-anak yang masih kecil atau tingkat kematangannya masih rendah.
2. Pola Asuh Selling, yaitu pola asuh yang masih banyak memberi arahan, namun memberi kesempatan pada anak-anak untuk mengemukakan ide-idenya. Cocok untuk anak-anak yang kedewasaannya sudah agak meningkat.
3. Pola Asuh Participating, yaitu pola asuh yang tidak terlalu banyak pengarahan atau lebih memberi kesempatan untuk berdialog. Cocok untuk anak-anak yang tingkat kedewasaannya lebih meningkat lagi.
4. Pola Asuh Delegating, yaitu pola asuh yang lebih banyak mendelegasikan karena tingkat kedewasaan anak sudah cukup mapan.
Untuk mengembangkan kecerdasan emosional, tidak bisa dipisahkan dengan perkembangan emosi sehat sejak dini. Pola asuh orang tua sangat berperan untuk meningkatkan kecerdasan emosional anak, dengan demikian agar anak-anak kelak mampu mengendalikan emosinya dengan baik, orang tua harus memberi contoh bagaimana mengendalikan emosi dengan baik.
Beberapa alternatif mengembangkan emosi yang sehat pada anak sebagaimana yang ditawarkan Wimbarti (2002) antara lain:
1. Keluarga membina keakraban. Dalam dunia yang semakian sibuk dimana ayah dan ibu bekerja, diperlukan super parents, yaitu orang tua yang dalam kesibukannya tetap bisa berbagi waktu dengan anak. Adanya teknologi tinggi, mis telpon rumah, HP, dan internet dapat membantu keakraban, hal ini dapat mengurangi kesepihan dan kesunyian yang dirasakan anak.
2. Buat seimbang kegiatan kognitif, afektif dan aktivitas tubuh.
3. Revitalisasi keanggunan tatakrama lokal. Kehalusan budi pekerti serta tatakrama yang merupakan unsur prilaku prososial umumnya bertolak belakang dengan prilaku kekerasan, oleh karena itu bila individu diperkuat perkembangan tatakrama dan budi pekertinya maka prilaku ini tidak kompatibel dengan prilaku kekerasan.
4. Bagi anak-anak jawa, meggunakan bahasa jawa kromo inggil menuntut mereka untuk menyesuaikan sikap batin dan prilaku luarnya dengan bahasa halus tersebut, sehingga menggunakan bahas kromo inggil tetapi prilakunya berangasan akan tidak tepat.
5. Mengajak anak mengunjungi panti asuhan dan mendiskusikan hal tersebut akan mengasah kehalusan empati mereka.
6. Memelihara binatang piaraan di rumah dapat menjadi ajang diskusi perilaku dan “perasaan” binatang yang dapat diproyeksikan kepada perasaan manusia.
Oleh sebab itu orang tua hendaknya memperhatikan dengan sungguh-sungguh dengan mengajarkan dan melatihkan proses mempersepsi, menilai dan mengekspresikan emosi; mengajarakan dan melatihkan bagaimana proses fasilitasi emosi untuk berfikir; mengajarkan dan melatihkan proses penggunanaan pengetahuan emosi; mengajarkan dan melatihkan proses pengarahan reflektif emosi untuk mempromosikan pengembnagan emosi dan intelek anak.
Sedang untuk mengembangkan kecerdasan spiritual, setidaknya harus di mulai dari lingkungan keluarga, yakni dengan cara melatih anak-anak melakukan tugas hariannya dengan kesadaran dan dorongan motivasi dari dalam, anak diberi kasih sayang dan tidak perlu dimanjakan karena akan mengembangkan sifat mementingkan diri sendiri dan mengabaikan kebutuhan orang lain, kikir dan berpikiran sempit. Anak perlu belajar untuk bisa menerima dan mendengarkan dengan baik baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Orang tua harus menciptakan suasana lingkungan keluarga penuh kasih dan pengalaman saling memaafkan, dan banyak lagi yang intinya orang tua harus menjadi model bagi anak-anaknya untuk melayani, rela berkorban dan mengutamakan kepentingan bersama daripada kepentingan diri sendiri, karena yang memandu setiap perbuatan adalah apa yang bernilai bagi sesama.
Secara sederhana, upaya yang perlu jadi perhatian adalah dengan menghilangkan belenggu-belenggu yang menyebabkan hati nurani menjadi tidak cerah dan tentunya harus dimbangi dengan usaha penajaman yang terus menerus. Aliyah Rasyid Baswedan (2002) dalam hal ini memberikan alternatif peningkatan SQ anak, yaitu:
1. Pembiasaan. Misalnya membiasakan anak sejak kecil untuk bangun pagi, sholat bersama, membaca Al-Qur’an, berlaku sopan pada siapapun, gema wahyu ilahi di rumah, ramah terhadap orang minta-minta, tidak berbohong. Perlu pula dibiasakan untuk sadar bahwa kita harus mempertanggungjawabkan perbuatan kita di akhirat kelak. Kita juga harus membiasakan semua perbuatan karena Allah semata. Semua itu akan mencerahkan hati nurani, dan mengurangi mendung yang menutupi hati nurani, akan tertanam sifat-sifat yang mendekatkan diri pada Allah, yang akhirnya akan lebih meningkatkan kecerdasan spiritual anak.
2. Keteladanan. Keteladanan yang diberikan orang tua dan keluarga akan memberikan dampak yang baik pada diri pribadi anak. Bagaimana orang tua bertutur sapa dengan anggota keluarga yang lain, bagimana orang tua memanfaatkan waktu, bagaimana orang tua selau shalat tepat waktu dan berjamaah, sering membaca Al-Qur’an, bagaiman orang tua berpegang teguh pada prinsip-prinsip agama dan sebagainya. Tanpa keteladanan yang baik dari orang tua, pendidikan terhadap anak tidak akan berhasil dan nasehat-nasehat tidak akan membekas. Orang tua tidak dapat mengharapkan anak-anaknya berbuat keutamaan dan akhlak mulia kalau orang tua juga tidak berbuat demikian.
3. Penciptaan Lingkungan yang Kondusif. Lingkungan yang kondusif akan membantu tumbuh kembang anak yang sehat mental spiritualnya. Hendaknya lingkungan fisik dan mental anak diwarnai hal-hal yang religius, sehingga menimbulkan kesan yang mendalam, sebagai bekal kehidupannya nanti.
Dalam pengembangan ESQ ini, yang perlu menjadi catatan adalah pelaksanaanya hendaknya dimulai sejak anak dalam kandungan ibu. Perkembangan fisik yang begitu dasyat dalam kandungan sebenarnya juga mencerminkan perkembangan yang bersifat psikis dan rohani yang tak kalah dasyatnya pula. Karena itu setiap tindakan, prilaku dan cara berinteraksi dengan janin dan kehidupan ibu, memiliki pengaruh dan bahkan determinasi yang besar bagi masa depannya. Oleh sebab itu orang tua harus sadar betul untuk mempersiapakan pendidikan anak mulai ketika masih dalam kandungan sampai tumbuh kembang menjadi manusia unggul yang cerdas intelektualnya, emosionalnya dan spiritualnya.

Rujukan Membaca
Alsa, Asmadi, “Pola Penagsuhan untuk meningkatkan IQ anak” dalam Seminar Pola Asuh yang Mencerdaskan Anak, PSW Lembaga Penelitian UII, Yogyakarta, 20 April 2002
Baswedan, Aliyah Rasyid, “Pola Asuh yang Mengembangkan Kecerdasan Spiritual” dalam Seminar Pola Asuh yang Mencerdaskan Anak, PSW Lembaga Penelitian UII, Yogyakarta, 20 April 2002
Goleman, D, Emotional Intelligence: Why it Can Matter More than IQ. New york: Bantam, 1995
UU Nomor 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional.
Wimbarti, Supra. “Pola Asuh yang Mencerdaskan Anak: Dari Sisi EQ” dalam Seminar Pola Asuh yang Mencerdaskan Anak, PSW Lembaga Penelitian UII, Yogyakarta, 20 April 2002
Yusuf, Syamsu & A. Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan dan Konseling, Bandung: PPs UPI & Remaja Rosdakarya, 2005
Zohar, Danah dan Marshall, Ian, SQ, Spiritual Intellegece, The Ultimate Intellegence. London: Bloomsbry, 2000


BIODATA PENULIS
Imam Mawardi, M.Ag, Lahir di Lamongan pada tanggal 6 Januari 1973. Pendidikan terakhir diperoleh dari Program Pascasarjana (S.2) UIN Yogyakarta pada Prodi Pendidikan Islam Konsentrasi Pemikiran Pendidikan Islam. Pekerjaan sekarang sebagai dosen tetap di FAI Universitas Muhammadiyah Magelang.

MENDIDIK ESQ 1: POLA PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN ANAK

MENDIDIK ESQ 1: POLA PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN ANAK
Imam Mawardi*


Pendidikan ESQ merupakan paket pengembangan kepribadian anak. Kebutuhan pendidikan anak tidak sekedar menjejali dengan pengetahuan semata, tetapi juga aplikasi kemanfaatan bagi kehidupan yang bermakna dengan mengaktualisasikan potensi diri sebaik mungkin di tengah peradaban yang terus berkembang. Oleh sebab itu menjadi tanggung jawab pendidik (orang tua dan guru) mentransformasikan nilai-nilai kecerdasan emosional dan spiritual dengan pola asuh yang tepat sesuai tingkat kematangan anak dengan melalui pembiasaan, keteladanan dan penciptaan lingkungan yang kondusif sehingga menjadi manusia yang cerdas secara emosional (EQ) yaitu kecerdasan kalbu yang berkaitan dengan pengendalian nafsu-nafsu impulsif dan agresif dan cerdas spiritualnya (SQ), yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna dan nilai.
________________________________________
Dalam pendidikan, konsep pengembangan kepribadian anak merupakan tujuan utama di samping pengembangan intelektual. Tiga hal yang menjadi prioritas dalam kurikulum pendidikan, sebagaimana yang dirumuskan Benyamin S. Bloom adalah kognitif, afektif dan psikomotor yang dikemas secara apik dalam program life skill.
Oleh karena itu, secara makro pendidikan harus mewadahi kemampuan mendidik, membimbing dan melatih secara simultan, terpadu dan berkesinambungan dalam keseluruan pribadi anak didik. Apalagi tuntutan UNESCO sebagaimana yang direkomendasikannya bahwa pendidikan harus memenuhi 6 pilar pendidikan (Mastuhu, 2003: 132-135), yaitu:
1. Learning to Know, yang dimaksudkan di sini adalah bukan sebatas mengetahui dan memiliki materi informasi sebanyak-banyaknya, menyimpan dan mengingat selama-lamanya dan setepat-tepatnya sesuai dengan petunjuk yang diberikan, tetapi kemampuan memahami makna di balik materi ajar yang telah diterimanya, selain itu juga diharapkan tumbuh-kembangnya kemampuan menangkap peluang untuk melakukan pendekatan ilmiah yang yang tidak hanya melalui logika empirisme semata, tetapi juga secara transendental yaitu kemampuan mengaitkannya dengan nilai-nilai ilahiyah.
2. Learning to Do, merupakan konsekwensi logis dari Learning to Know, yaitu berbuat dengan berfikir atau learning by doing, yang dimaksudkan untuk menuntun anak mengenal hubungan antara berkarya dan beriman menurut keyakinan agamanya. Esensi bekerja bukan semata-mata mencari uang, tetapi adalah belajar.
3. Learning to Be, akan menuntun anak menjadi ilmuwan sehingga mampu menggali dan menentukan nilai kehidupannya sendiri –cultivating their own end—dalam hidup bermasyarakat sebagai hasil belajarnya.
4. Learning to Live Together, merupakan kelanjutan dari ketiga hal di atas untuk menuntun seseorang untuk hidup bermasyarakat dan menjadi “educated person” yang bermanfaat baik bagi diri dan masyarakatnya, maupun bagi seluruh umat manusia sebagai amalan agamanya.
5. Learn How to Learn, untuk menuntun anak agar mampu mengembangkan strategi dan kiat belajar yang lebih independent, kreatif, inovatif, efektif-efisien, dan penuh percaya diri melalui model belajar “menjadi”, anak didik sendiri yang mencari dan menemukan jawaban pertanyaan-pertanyaan yang dihadapinya, guru dituntut membimbing, memotivasi, memfasilitasi, memprovokasi dan mempersuasi.
6. Learning Throughout Life, menuntun dan memberi pencerahan kepada anak bahwa ilmu bukan buatan manusia, tetapi ilmu adalah hasil temuan atau hasil pencarian manusia. Karena ilmu adalah ilmu Tuhan yang tidak terbatas dan harus dicari, maka upaya mencarinya harus terus menerus tidak mengenal berhenti.
Dengan demikian, sebagaimana yang akan saya bahas dalam tulisan ini merupakan upaya mentransformasikan pilar-pilar pendidikan melalui pembinaan emosional-spiritual quotient (kecerdasan emosional dan spiritual) dalam rangka pengembangan kepribadian anak. Mengingat, kebutuhan pendidikan anak tidak sekedar menjejali dengan pengetahuan semata, tetapi juga aplikasi kemanfaatan bagi kehidupan yang bermakna dengan mengaktualisasikan potensi diri sebaik mungkin di tengah peradaban yang terus berkembang.
ESQ: Fenomena Pendidikan
Fenomena yang mengejutkan dunia pendidikan akhir-akhir ini adalah ditemukannya berbagai penemuan tentang potensi kecerdasan manusia. Pada abad ke-20, kecerdasan intelektual sempat menemukan momentumnya sebagai satu-satunya alat untuk mengukur kecerdasan manusia, sehingga banyak orang tua bangga dengan tes IQ anaknya yang tinggi sehingga bisa memilih sekolah mana saja yang dikehendaki. Namun pada pertengahan 1990-an,--sebagaimana yang ditulis Hasan (dalam Millah, 2004)-- Daniel Goleman menunjukkan penemuan barunya, bahwa kecerdasan manusia tidak hanya bisa diukur dengan IQ, ada jenis kecerdasan lain yang lebih penting dari IQ yaitu EQ (Emotional Quotient). Lebih jauh Golemen mengatakan bahwa EQ is more important than IQ for success in business and relationship. Maka runtuhlah kejayaan legenda IQ yang pernah berjaya dalam kurun waktu yang lama pada abad ke-20.
Di akhir abad ke-20 (1990-an) Danah Zohar dan Ian Marshall (2000:5) menemukan jenis kecerdasan lain, yaitu SQ (Spiritual Quatient). Bagi Zohar dan Marshall, mesin computer bisa memilki IQ yang tinggi, binatang bisa memilki EQ yang tinggi, tetapi keduanya tidak pernah memiliki ‘kegelisahan’ dan tidak pernah berpikir tentang dirinya, tentang orang lain dan tentang hidup secara umum. Mereka juga tidak pernah berfikir bagaimana merekayasa ataupun merubah keadaan yang ada pada dirinya. Padahal dengan berfikir menunjukkan esensi dari kemanusiaan manusia yang sebenarnya.
Untuk lebih memperjelas bahasan EQ dan SQ berikut ini akan diuraikan sekilas hal yang mendasari fenomena tersebut:
Kecerdasan Emosional (EQ)
Kecerdasan emosional (EQ) yaitu kecerdasan kalbu yang berkaitan dengan pengendalian nafsu-nafsu impulsif dan agresif. Kecerdasan ini mengarahkan manusia untuk bertindak secara hati-hati, waspada, tenang, sabar dan tabah ketika mendapat musibah, dan berterima kasih ketika mendapat kenikmatan. (Mujib & Jusuf Mudzakir, 2001: 328).
EQ yang dikembangkan Daniel Golemen ini, merujuk pada kemampuan seseorang mengendalikan diri ketika marah, takut, gembira, kasmaran, terkejut, terpesona, muak, tersinggung, dan berduka.(1995:6-7). Jadi pada hakekatnya adalah kemampuan meredam gejolak emosinya. Lebih lanjut dikatakan bahwa EQ sesungguhnya lebih merupakan ketrampilan (skill) daripada potensi seperti dalam konsep inteligensi pada umumnya, dan ketrampilan ini harus diajarkan oleh masyarakat tempat individu yang bersangkutan tumbuh dan berkembang. Ketrampilan tersebut yang terkait dengan EQ adalah: 1) memahami pengalaman emosi pribadi, 2) mengendalikan emosi, 3) memotivasi diri, 4) memahami emosi orang lain, dan 5) mengembangkan hubungan dengan orang lain.
Menurut penelitian Tomlinson-Keasey dan Little (dalam Satiadarma & Sadalis E. Waruwu, 2003:37) bahwa sukses seseorang dalam pendidikan dan pekerjaan sangat dipengaruhi oleh kecenderungan kepribadian yang bersangkutan, pendidikan orang tua dan variabel lingkungan rumah tangga. Pentingnya peran sosial, khususnya orang tua dan lingkungan sosial masyarakat, senantiasa perlu dijadikan pertimbangan dalam upaya meningkatkan ketrampilan seseorang untuk mengendalikan gejolak emosinya.
Secara rinci unsur-unsur dan indikator EQ dapat disimak pada tabel berikut:
UNSUR
INDIKATOR
Kesadaran Diri
a. mengenal dan merasakan emosi sendiri
b. Memahami faktor penyabab perasaan yang timbul
c. Mengenal pengaruh perasaan terhadap tindakan
Mengelola Emosi
a. Bersikap toleran terhadap frustasi
b. Mampu mengendalikan marah secara lebih baik
c. Dapat mengendalikan perilaku agrasif yang merusak diri sendiri dan orang lain
d. Memiliki perasaan yang positif tentang diri sendiri dan orang lain
e. Memiliki kemampuan untuk mengatasi stress
f. Dapat mengurangi perasaan kesepian dan cemas
Memanfaatkan Emosi secara Produktif
a. Memiliki rasa tanggung jawab
b. Mampu memusatkan perhatian pada tugas yang dikerjakan
c. Tidak bersikap implusive
Empati
a. mampu menerima sudut pandang orang lain
b. Memiliki kepekaan terhadap perasaan orang lain
c. Mampu mendengarkan orang lain
Membina Hubungan
a. Memahami pentingnya membina hubungan dengan orang lain
b. Dapat menyelesaikan konflik dengan orang lain
c. Memilliki kemampuan berkomunikasi dengan orang lain
d. Memiliki sikap tenggang rasa
e. Memiliki perhatian terhadap keopentingan orang lain
f. Dapat hidup selaras dengan kelompok
g. Bersikap senang berbagi rasa dan bekerjasama
h. Bersikap demokratis
Sumber: Yusuf, Syamsu & A. Juntika Nurihsan, 2005: 241.
Kecerdasan Spiritual(SQ)
Kecerdasan spiritual (SQ) adalah kecerdasan kalbu yang berhubungan dengan kualitas batin seseorang. Kecerdasan ini mengarahkan seseorang untuk berbuat lebih manusiawi, sehingga dapat menjangkau nilai-nilai luhur yang mungkin belum tersentuh oleh akal fikiran manusia. (Mujib & Jusuf Mudzakir, 2001: 328). Pendek kata kecerdasan spiritual merupakan kesadaran dalam diri yang membuat manusia menemukan dan mengembangkan bakat-bakat bawaan, intuisi, otoritas batin, kemampuan membedakan yang salah dan benar serta kebijaksanaan. (Satiadarma & Sadalis E. Waruwu, 2003:42).
Zohar dan Marshall (2000) menggambarkan orang yang memilki kecerdasan spiritual (SQ) sebagai orang yang mampu bersifat fleksibel, mampu beradaptasi secara spontan dan aktif, mempunyai kesadaran diri yang tinggi, mampu menghadapi dan memanfaatkan penderitaan, rasa sakit, memiliki visi dan prinsip nilai, mempunyai komitmen dan bertindak penuh tanggung jawab.
SQ bukanlah doktrin agama yang mengajak umat manusia untuk ‘cerdas’ dalam memilih atau memeluk salah satu agama yang dianggap benar. Kecerdasan spiritual lebih merupakan konsep yang berhubungan dengan bagaimana mengelola dan mendayagunakan makna-makna, nilai-nilai dan kualitas-kualitas kehidupan spiritualnya, sehingga memiliki hasrat untuk hidup bermakna (the will to meaning) yang memotivasi kehidupan manusia untuk senantiasa mencari makna hidup (the meaning of life) dan mendambahkan hidup bermakna (the meaningful life). Sehingga dapat difahami bahwa seseorang yang taat beragama belum tentu memiliki kecerdasan spiritual, acapkali mereka memiliki sikap fanatisme, eksklusivisme, dan intoleransi terhadap pemeluk agama lain, sehingga mengakibatkan permusuhan dan peperangan. Sebaliknya, bisa jadi seseorang yang humanis-non-agamis memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi, sehingga sikap hidupnya inklusif, setuju dalam perbedaan (agree in disagreement), dan penuh toleran. Hal ini mengindikasikan bahwa makna “spirituality” (keruhanian) dalam pengertian ini tidak selalu berarti agama atau bertuhan. (Mujib & Jusuf Mudzakir, 2001: 324-325).
Jadi dengan SQ manusia bisa mengobati penyakit dirinya sendiri, akibat krisis multidimensi seperti krisis eksistensi (existential crisis), krisis spiritual dan atau krisis makna. SQ adalah jenis kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya.
Oleh karena itu mengingat ESQ sangat dibutuhkan anak dalam menghadapi tantangan kehidupan sehari-hari, maka pendidikan ESQ haruslah dimulai sejak dini, agar anak bisa menjadi manusia yang bermanfaat dalam pengelolaan emosi-spiritualnya baik bagi diri sendiri, keluarga, mayarakat dan sesama makhluk Allah swt.
Pola asuh pembimbingan yang dilakukan baik oleh orang tua maupun guru harus dilakukan secara kontinyu dan berkesinambungan secara terus menerus dan membutuhkan kesabaran yang tinggi, karena sebuah proses pendidikan tidak seperti menanam jagung yang bisa dipanen dalam waktu sekitar 3 bulanan. Tujuan pendidikan adalah masa depan anak, sebagai generasi penerus peradaban yang memberi kemanfaatan kemanusiaan.

Rujukan Membaca
Goleman, D, Emotional Intelligence: Why it Can Matter More than IQ. New york: Bantam, 1995
Hasan, Abdul Wahid, “Belajar Strategi Pengembangan SQ Kepada Muhammad saw”, Millah Jurnal Studi Agama, Vol. III, No.2, Januari 2004
Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21 (The New Mind set of National Education in the 21st Century), Yogyakarta: Safira Insania Press bekerjasama dengan MSI-UII, 2003
Mujib, Abdul dan Yusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islami, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001
Satiadarma, Monty P & Fidelis E. Waruwu, Mendidik Kecerdasan: Pedoman bagi orang tua dan guru dalam mendidik anak cerdas, Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2003.
UU Nomor 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional.
Yusuf, Syamsu & A. Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan dan Konseling, Bandung: PPs UPI & Remaja Rosdakarya, 2005
Zohar, Danah dan Marshall, Ian, SQ, Spiritual Intellegece, The Ultimate Intellegence. London: Bloomsbry, 2000


BIODATA PENULIS
Imam Mawardi, M.Ag, Lahir di Lamongan pada tanggal 6 Januari 1973. Pendidikan terakhir diperoleh dari Program Pascasarjana (S.2) UIN Yogyakarta pada Prodi Pendidikan Islam Konsentrasi Pemikiran Pendidikan Islam. Pekerjaan sekarang sebagai dosen tetap di FAI Universitas Muhammadiyah Magelang.

* Staf Pengajar FAI Universitas Muhammadiyah Magelang

EFEKTIVITAS, EFISIENSI DAN PRODUKTIVITAS MUTU SEKOLAH

EFEKTIVITAS, EFISIENSI DAN PRODUKTIVITAS MUTU SEKOLAH

Imam Mawardi, M.Ag

Gerbang
Sebuah lembaga pendidikan sekolah menjadi alternatif pilihan, jika sekolah tersebut mampu memenuhi kebutuhan “pasar” yang diperlukan masyarakat. Oleh sebab itu sistem manajemen pengelolaan sekolah menjadi dasar utama dalam mengembangkan mutu sekolah. Berbicara tentang mutu di sini tidak bisa dipisahkan dari kualitas program yang ditawarkan dan out put pendidikan yang dihasilkan.
Namun demikian, dalam beberapa hal agaknya pemikiran konseptual pengembangan pendidikan Islam dan beberapa kebijakan yang diambil kadang-kadang terkesan menggebu-gebu, idealis, atau bahkan kurang realistis. Sebagai para pelaksana di lapangan kadang-kadang mengalami beberapa hambatan dan kesulitan untuk merealisasikannya atau bahkan intensitas pelaksanaan dan efektifitasnya masih dipertanyakan (Muhaimin,2001). Bahkan juga kurang memperhatikan kebutuhan masyarakat, sehingga kompetensi yang diharapkan menjadi samar oleh idealisme yang “melangit” tidak mampu “membumi” dalam realitas kemanfaatan out put pendidikan yang memiliki pengetahuan, sikap, dan ketrampilan yang sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat.
Untuk memperjelas orientasi dalam pengelolaan suatu lembaga pendidikan Islam ini, efektifitas, efisiensi, dan produkktifitas menjadi prasarat utama. Bagaimana mengelola lembaga pendidikan yang memiliki daya tarik dan mampu menjawab kebutuhan masyarakat ?.
Efektifitas, Efisiensi dan Produktifitas : Manajemen Sekolah
Efektifitas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), dikemukakan bahwa efektif berarti ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya) manjur dan mujarab, dapat membawa hasil.
Dengan demikian dalam pengelolaan sekolah, efektifitas berkaitan dengan terlaksananya semua tugas pokok, tercapainya tujuan, ketepatan waktu dan adanya partisipasi aktif dari masyarakat, mendapatkan serta memanfaatkan sumber daya dan sumber belajar untuk mewujudkan tujuan sekolah (Mulyasa, 2002).
Efektifitas pendidikan dalam setiap tahapannya berproses pada dos sollen dan dessein dengan indikator-indikator sebagai berikut :
1. Indikator input, meliputi karakteristik guru, fasilitas, perlengkapan dan materi pendidikan serta kapasitas manajemen.
2. Indikator proses, meliputi prilaku administratif, alokasi waktu guru, dan alokasi waktu peserta didik.
3. Indikator out put, berupa hasil-hasil dalam bentuk perolehan peserta didik meliputi hasil prestasi belajar, sikap, keadilan dan persamaan.
4. Indikator out come, meliputi jumlah lulusan ketingkat pendidikan berikutnya, prestasi belajar di sekolah yang lebih tinggi dan pekerjaan serta pendapatan (Mulyasa, 2002).
Efisiensi merupakan aspek yang penting, karena berpengaruh terhadap kegiatan manajemen. Suatu kegiatan dikatakan efisien, jika tujuan dapat dicapai secara optimal dengan penggunaan atau pemakaian sumber daya yang minimal. Dengan demikian, efisiensi dalam pengelolaan pendidikan diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan sekolah, pemerataan, keadilan dan demokratisasi dengan didasarkan atas 2 hal, yakni manajemen pendidikan yang profesional dan partisipasi dalam pengelolaan pendidikan yang meluas.
Produktifitas dalam dunia pendidikan berkaitan dengan keseluruhan proses penataan dan penggunaan sumber daya manusia untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Thomas (1982) dalam Mulyasa (2002) mengemukakan bahwa produktifitas pendidikan dapat ditinjau dari 3 dimensi sebagai berikut :
1. Meninjau produktifitas sekolah dari segi keluaran administratif, yaitu seberapa besar dan seberapa baik layanan yang dapat diberikan dalam proses pendidikan, baik oleh guru kepala sekolah maupun pihak lain yang berkepentingan.
2 Meninjau produktifitas dari segi keluaran perubahan prilaku, dengan melihat nilai-nilai yang diperoleh peserta didik sebagai suatu gambaran prestasi akademik yang telah dicapainya dalam periode belajar tertentu disekolah
3 Melihat produktifitas sekolah dari keluaran ekonomis yang berkaitan dengan pembiayaan layanan pendidikan di sekolah. Hal ini mencakup “harga” layanan yang diberikan (pengorbanan atau cost) dan “perolehan” yang ditimbulkan oleh layanan itu atau disebut “peningkatan nilai baik“.
Kurikulum: Format Kompetensi Kemampuan Siswa
Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan pada dasarnya merupakan format atau standart yang menetapkan kompetensi apa yang diharapkan dapat dicapai siswa dalam setiap tingkatan kelas atau jenjang tertentu dalam satuan pendidikan, agar memiliki kecakapan hidup sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Dengan demikian, kurikulum ini merupakan pergeseran penekanan dari isi (apa yang tertuang) ke kompetensi (bagaimana berfikir, bersikap, belajar dan melakukan). Oleh karena itu para guru dan siswa diharapkan dapat mengetahui kompetensi apa yang seharusnya dicapai pada setiap pembelajaran dan sejauh mana efektifitas kegiatan pembelajaran telah dicapai (Diknas, 2003).
Keberhasilan kurikulum, sangat ditentukan oleh kepala sekolah, guru, siswa, karyawan, orang tua, dan masyarakat yang terlibat secara langsung dalam pengelolaan sekolah. Keberhasilan tersebut dapat dilihat dari indikator sebagai berikut :
1. Adanya peningkatan mutu pendidikan, yang dapat dicapai oleh sekolah melalui kemandirian dan inisiatif kepala sekolah dan guuru dalam mengelola dan mendayagunakan sumber-sumber yang tersedia.
2. Adanya peningkatan efisiensi dan efektifitas pengelolaan dan penggunaan sumber-sumber pendidikan, melalui pembagian tanggung jawab yang jelas transparan dan demokratis.
3. Adanya peningkatan perhatian serta partisipasi warga, dan masyarakat sekitar sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran yang dicapai melalui pengambilan keputusan bersama.
4. Adanya peningkatan tanggung jawab sekolah kepada pemerintah, orang tua peserta didik dan masyarakat pada umumnya berkaitan dengan mutu sekolah, baik dalam intra maupun ekstra kurikuler.
5. Adanya kompetisi yang sehat antar sekolah dalam peningkatan mutu pendidikan melalui upaya-upaya inovatif dengan dukungan orang tua peserta didik, mayarakat dan pemerintah daerah setempat.
6. Tumbuhnya kemandirian dan berkurangnya ketergantungan di kalangan warga sekolah, bersifat adaptif dan proaktif serta memiliki jiwa kewirausaahaan tinggi, ulet, inovatif dan berani mengambil resiko.
7. Terwujudnya proses pembelajaran yang efektif yang lebih menekankan pada belajar mengetahui (learning to know), belajar berkarya (learning to do), belajar menjadi diri sendiri (learning to be), dan belajar hidup bersama secara harmonis (leraning to life together).
8. Terciptanya iklim sekolah yang aman, nyaman dan tertib sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung dengan tenang dan menyenangkan (enjoyble learnin).
9. Adanya proses evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan. Evaluasi belajar secara teratur bukan hanya ditujuakn untuk mengetahui tingkat daya serap dan kemampuan peserta didik, tetapi untuk memanfaatkan hasil evaluasi belajar tersebut bagi perbaikan dan penyempurnaan proses pembelajaran di sekolah (Mulyasa, 2003).
Sinergi
Peningkatan mutusekolah dengan manajemen yang efektif, efisien dan produktif dalam mencapai sasaran tujuan pendidikan dengan mendasarkan pada pengelolaan kurikulum ditujukan untuk menciptakan lulusan yang kompeten dalam membangun kehidupan diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negaranya yang ditandai dengan perwujudan kebiasaan berfikir dan bertindak peserta didik dalam kehidupan sehari-hari dikeluarga, disekolah dan dimasyarakat.
Dengan demikian kreatifitas pengelola lembaga sekolah dalam menjawab tantangan kebutuhan masyarakat menjadi modal yang efektif dalam mengantarkan kepada sekolah yang unggul.

Sandaran
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004),Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004
Depdiknas, Kurikulum Berbasis Kompetensi dalam Menunjang Kecakapan Hidup Siswa, 2003
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam:Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum, hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan, Bandung: Nuansa, 2003
-------------, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung :Remaja RosdaKarya, 2002
Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik dan Implementasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003----------, Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep Strategi dan Implementasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002

Kamis, Februari 14, 2008

BELAJAR DARI SENTUHAN MISTIS NYANYIAN ALAM

Belajar dari Sentuhan Mistis Nyanyian Alam
oleh Imam Mawardi El-razal
Hakekat belajar merupakan konsekwensi dari hidup. Manusia hidup harus dinamis, bergerak, punya harapan dan cita-cita. Sebaliknya manusia yang tidak ada dinamika, tidak ada perubahan, tidak bergerak, tidak punya harapan dan cita-cita bukanlah manusia itu hidup tetapi mati. Mati di sini bermacam makna, yang jelas arahnya adalah tidak kreatif di dalam memandang kehidupan.

Robert J. Lodje mengatakan, “Education is life, life is educatiom”, merupakan gambaran adanya kesamaan antara pendidikan dan proses hidup. Pendidikan sebagai suatu proses untuk membimbing, membina dan mengarahkan manusia pada tujuan kehidupan, sedang kehidupan sendiri sebagai suatu proses perkembangan dan lahan mencari hakekat kebahagiaan. Keduanya bermuara pada ujung makna kebahagiaan. Di sinilah belajar menjadi kunci bagaimanan manusia hidup, bagaimana menjadi berarti, bagaimana menjadi berguna, dan kemana tujuan hidup akan bermuara? Jawaban yang tepat tentunya adalah kebahagiaan. Ingat do’a sapu jagat Rabbana Atina fiddunya hasanah wafil akhirati hasanah waqina adzabannar.

Kunci kebahagiaan terletak pada prosesnya bukan pada hasilnya, proses yang terbentuk secara alamiah menjadikan manusia tahan banting dan ulet menghadapi tantangan kehidupan. Seperti permata yang asli hanya bisa terbentuk melalui proses alamiah yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, tetapi melalui proses tekanan dan panas yang terus menerus. Permata semula hanyalah sebongkah batu karbonit hitam yang terbenam dalam tanah. Pengaruh tekanan dan panas dari aktivitas vulkanik kemudian menjelmakan kehitamannya menjadi permata nan indah bercahaya. Bila terinjak sepatu kaca, bukan permatanya yang hancur tetapi justru sepatunya yang hancur.

Manusia bukanlah permata, tetapi sebagai gambaran untuk mendapatkan hasil, manusia harus berproses. Ingat! Hidup adalah proses bukanlah hasil, selama kita masih hidup kita tentunya akan berproses terus dengan tahapan-tahapan keberhasilan sesuai logika kita. Karena sesungguhnya secara hakiki keberhasilan hanya bisa diukur ketika manusia sudah meninggalkan dunia fana ini. Dan yang bisa menilai adalah orang lain diluar diri kita, karena selagi kita masih hidup kita tidak tahu apa yang terjadi esok, seperti cakra manggilingan kadang di atas kadang di bawah, sekarang sukses tapi tidak tahu apa tetap sukses terus atau pailit.
Oleh sebab itu, titik kesadaran manusia untuk mampu memahami dirinya dan berjarak dengan dirinya sendiri, sebagaimana pepatah Arab dari ungkapan Aristoteles ”man arafa nafsahu faqad arofa rabbahu” siapa yang mengenal hakekat diri kemanusiaanya maka dia akan menemukan hakekat Tuhannya. Di sini setiap manusia sesungguhnya dapat menemukan bahwa dihadapan sang khaliq Allah swt manusia hanya sebongkah kelegaman, lebih hina dari karbonit hitam, penuh kebodohan dan kekhilafan. Untuk menjadi permata nan mulai dihadapan Allah swt, manusia harus bergerak seirama dengan dzikirnya mengasah hati yang legam secara terus menerus dengan kembali pada kesucian fitrah membangun peradaban semesta, dengan syukur, ridha dan optimis menggapai tangga-tangga kebahagiaan.

Hal ini mengindikasikan suatu kesadaran spiritual manusia, bahwa belajar sebagai suatu proses hidup sebagai suatu keharusan tak terikat ruang dan waktu, dimanapun, kapanpun selagi nafas masih berhembus, jantung masih berdetak dan ruh masih melekat di jasad manusia. Belajar di sini bermakna menemukan hakekat penciptaan diri untuk kemudian menjadi berarti. Wallahu a’lam.
Mawardy el-Razal