Senyuman kehidupan

Jumat, Mei 23, 2008

Musibah itu berupa azab atau ujian?

Musibah itu berupa azab atau ujian?
Imam mawardi Rz

“Sesungguhnya, ada kalanya Allah telah menyediakan suatu derajat bagi seseorang, tetapi tidak dapat dicapai dengan amalannya, sehingga diuji dengan musibah yang menimpah jasmaninya. Maka tercapailah derajat dengan itu” (Al-Hadits)

Musibah sebuah istilah yang disandarkan pada keadaan yang tidak mengenakkan, menyakitkan dan sejenisnya pada diri kita akibat suatu peristiwa yang ditimbulkan oleh perbuatan kita sendiri atau peristiwa lain di luar nalar yang menimpa diri kita sehingga hati menjadi susah. Banyak orang yang berlebihan mendefinisikan musibah, tidak punya duit dikatakan musibah, sundulan anak (anak masih kecil istri melahirkan lagi) dikatakan musibah, dan lain sebagainya. Bagi seorang muslim, musibah dikaitkan dengan pasang-surutnya iman. Kalau sekarang misalnya tidak pernah mengamalkan membaca Al-Qur’an habis shalat sedangkan dulu selalu mendawamkannya, ini baru musibah. Kalau dulu ketika mahasiswa selalu puasa sunnah senin-kamis, sekarang setelah menjadi pejabat tidak lagi melakukannya, ini juga musibah. Namun secara umum--menurut Budi Handrianto-- musibah adalah sesuatu yang tidak mengenakkan fisik maupun hati. Misalnya ditinggal orang yang kita cintai, sakit, kehilangan harta benda atau kesempatan,dan masih banyak lagi.

Ada 2 jenis musibah dalam hidup ini, yaitu musibah yang bernama azab dan musibah yang bernama ujian. Musibah yang berupa azab adalah hukuman bagi manusia karena sebuah kemaksiatan. Contohnya perselingkuhan sepasang wanita dan pria yang ketahuan, sehingga membuat rusak rumah tangga masing-masing atau kasusnya diketahui banyak orang secara tutur tinular dari satu orang ke orang lain sehingga nama dan harga diri menjadi tercemar, kewibawannya melorot dll. Atau juga memanipulasi jabatan dengan berbuat korupsi, ketika diaudit dirinya ketahuan melakukan kecurangan akibatnya ia dipecat. Kehilangan pekerjaan bahkan dipenjara akibat korupsi maupun keluarga berantakan akibat perselingkuhan merupakan azab akibat dari perbuatan maksiatnya.

Sedangkan musibah yang berupa ujian, misalnya seorang pedagang bangkrut karena krisis, dan meninggalkan hutang yang banyak, kekayannya ludes, bahkan rumahpun ia gadaikan, kemudian ia tinggal dirumah kontrakan dan memulai proses dari awal lagi. Atau juga seorang pelajar sudah berusaha belajar dengan sungguh-sungguh dan mematuhi segala aturan sekolah, tapi tetap saja ia tidak lulus. Atau seorang suami yang sudah berusaha sedemikian rupa mengobati istrinya yang lagi sakit ke beberapa dokter dan rumah sakit, ternyata tak tertolong juga. Pedagang, pelajar, dan suami dalam contoh di atas telah mengalami musibah. Namun musibahnya bukan merupakan azab, tetapi ujian.

Dari contoh ilustrasi di atas, bahwa usaha yang kita lakukan secara benar, tidak menyimpang dari ajaran Allah dan sesuai dengan perintahNya yang kemudihan hasilnya tidak seperti yang kita kehendaki, maka musibah itu dinamakan ujian. Sebaliknya apabila yang kita lakukan sesuatu perbuatan yang melanggar perintah Allah, melakukan maksiat, korupsi dll , maka bila terjadi sesuatu dari dampak perbuatannya itu maka musibahnya berupa azab.

Hukuman azab bagi orang yang melakukan kesalahan adalah masuk akal, tapi bagaimana dengan orang yang berusaha bertindak benar, ia tetap mendapat musibah? Kalau memang harus diuji kenapa ujiannya justru setelah ia melakukan perbuatan yang diperintahkan?
Allah swt berfirman: “Apakah manusia itu mengira diri mereka dibiarkan saja mengatakan, ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi. Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka maka sesungguhnya Allah mengetahui yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahuiorang-orang yang dusta.” (al-‘ankabut: 2-3)

Ada beberapa hal mengapa manusia harus diuji. Pertama, untuk meningkatkan taraf derajat ibadah seseorang. Kedua, Allah ingin menghapus dosa seorang hamba, ketiga, karena Allah sayang kepada hambaNya.

Dengan demikian mari kita renungkan, bahwa setiap musibah baik baik yang berupa ujian maupun azab, harus mampu menjadikan kita sadar dan selalu belajar untuk selalu waspada, ikhlas dan taubat. Kedua musibah itu merupakan bentuk maha kasih Allah dan peringatan bagi orang-orang yang mampu merenungkannya. Yang berupa ujian bagaimana ia harus berusaha meningkatkan iman, dan yang berupa azab merupakan peringatan supaya menghentikan kemaksiatan dengan jalan taubat nasuha, yaitu taubat dengan sebenar-benarnya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi pada kesmpatan yang lain. Semoga kita dan kelurga diberi kekuatan iman agar mampu memahami musibah akan ujian dan dijauhkan dari musibah azab, naudzubillahi min dzalika.

Rabu, Mei 21, 2008

Anak yang kecil itu bernama HANUM


Anak yang kecil itu bernama HANUM
By Evin Yuniastutik (Umihany)

Sudah 47 hari bila dihitung dari kelahiran 4 April 2008. Hanum nampak molek, lucu dan semakin "gembeng". Aktivitasnya menangis, senyum, ngoceh, nenen, tidur, dan minta gendong. Minta gendongnya ini yang bener-bener menyita waktu. Kalau tidak dituruti nangis dari yang tingkat rendah sampai tingkat tinggi. Bisa bayangkan kan, bagaimana kalau nangis tingkat tinggi, seisi rumah seakan disambar petir. Tapi tapi tangisan bayi merupakan olahraga bagi bayi untuk melatih fungsi-fungsi motorik halus sampai motorik kasar. Seorang Psikolog menyatakan ada 4 hal kemungkinan yang menyebabkan tangisan bayi, pertama karena lapar, kedua karena sakit, dan ketiga karena tidak nyaman, dan kempat karena mengantuk.

Kasus bayiku mungkin karena tidak nyaman kalau ditidurkan dan ditinggal sendiri, mungkin ini akibat karena kebiasaan digendong oleh simbahnya (ibu mertua) saat-saat lalu. Untuk menghentikan si baby menangis, ibu mertua pernah memberi solusi bacakan sholawat, itu aja yang pake Allahumma..., tidak yang langsung sholatullah.... Ini mungkin yang menjadi kebiasaan ketika digendong ibu mertua, seakan-akan si baby faham kalau dibacakan sholawat sampai sekarang berarti di suruh tidur. Dan memang ini manjur untuk kasus putriku satu ini.
Hari-hari semakin bertambah kecerdasan menangkap kesan perbedaan antara gelap dan terang, ditunggui dan tidak ditunggui, kepekaan terhadap warna dan bunyi-bunyian menjadi perkembangan tersendiri, di samping pertumbuhan yang semakin meningkat dilevel 6 kg.

Ada beberapa pelajaran yang penting yang menjadi catatan kehidupanku sebagai seorang yang menyandang gelar ibu, sebuah gelar yang bagiku lebih penting daripada dunia dan seisinya. Pertama, pelajaran tentang kesabaran, bagaimana menghadapi kerewelan anak-anak di saat kesibukan mengurus rumah tangga menguras tenaga dan pikiran. Kedua, pelajaran tentang keihklasan,yang menjadikan air mata semakin jernih menemani hari-hari bercanda dengan keluarga yang seakan memupuskan idealisme sewaktu mahasiswa dulu untuk menjadi bidan profesioanal. Ketiga, pelajaran tentang pendidikan anak "home education" menjadi motivasi bagaimana setiap gerakan, celoteh, tangisan dan kerewelan anak telah mendidikku untuk selalu belajar tentang "mengerti dan memahami". Apalagi kontrol diri dan uswah yang saya dan suami lakukan dalam kesadaran proses menjadi hiden curriculum di sekolah kehidupan.

Belajar dengan seorang anak memang belum seberapa, karena belajar yang sesungguhnya baru dimulai ketika punya anak dua. Karakteristik dan sifat-sifat menjadi orkestra yang indah membingkai makna kehidupan yang kekal untuk mewariskan sebuah generasi peradaban. Anakku adalah peradaban yang menjadi aset dunia akhirat.

Hanum, anak keduaku sebagai pengantar pendidikan bersama generasi-generasi yang akan saya lahirkan kemudian.

catatan ini, saya buat setelah pekerjaan rutin rumah tangga telah selesai dan di saat-saat sang bayi Hanum tertidur pulas digendongan, menikmati kehangatan bahasa dekapan seorang ibu, Sementara Hany (anak pertama, 3 tahun) sedang asyik berimajinasi dengan susun-bangun diaframa warna bersama anak tetangga seusianya.Imaginasiku berputar seiring jari-jemari menari-nari di keybord komputer untuk menuliskan segala uneg dan renungan perjalanan. Semoga bermanfaat

Jumat, Mei 16, 2008

Simpulan

Kesehatan mental dalam perspektif pendidikan adalah upaya menumbuhkan berbagai potensi positif manusia dalam hubungannya dengan peneguhan karakter kepribadian untuk mengelola terwujudnya keserasian antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri baik dengan dirinya sendiri, orang lain, maupun lingkungan sekitarnya secara dinamis dan mempunyai citra diri yang positif menjadi pribadi yang unggul dalam mencapai tujuan hidup yang bermakna (Islam kaffah) dengan mengaktualisasikan berbagai potensi kecerdasan, baik kecerdasan intelektual, emosional, spiritual, moral dan agama dalam kehidupan.
Oleh karena itu, menjadi tanggung jawab kita bersama untuk senantiasa mengupayakan pembinaan mental spiritual dengan pendidikan Islam yang terus menerus dimulai dari diri sendiri, keluarga, kemudian di lapangan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa secara nyata. InsyaAllah.

DAFTAR PUSTAKA
Adz-Dzaky, M. Hamdani Bakran, Psikoterapi & Konseling Islam: Penerapan Metode Sufistik, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001
Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami: Studi tentang Elemen Psikologi dari Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004
Bastaman, Hanna Djumhana, Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
Coles, Robert, Menumbuhkan Kecerdasan Moral pada Anak, terj. T. Hermaya, judul asli, “The Moral Intelligence of Children: How to Rise a Moral Child”, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000
Darodjat, Zakiah, Kesehatan Mental, Jakarta: Gunung Agung, cet.12, 1985
Digital Qur’an ver. 3.1
Goleman, D, Emotional Intelligence: Why it Can Matter More than IQ. New york: Bantam, 1995
Hall, Calvin S. and Gardner Lindzey, Teori-teori Holistik Organismik-Fenomenologi, terj. Yustinus, judul asli,”Theories of Personality”, Yogyakarta: Kanisius, 1993
Hartati, Netty, dkk, Islam & Psikologi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Mahmud, Muhammad Mahmud, ‘Ilm al-Nafs al-Ma’ashir fi Dha’I al-Islam, Jeddah: Dar al-Syuruq, 1984.
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama di sekolah, Bandung: Remaja Rosdakarya, cet.2, 2002
Mujib, Abdul dan Yusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islami, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001
Notosoedirjo, Moeljono & Latipun, Kesehatan Mental: Konsep dan Penerapan, Malang: UMM Press, cet.2, 2001
Satiadarma, Monty P & Fidelis E. Waruwu, Mendidik Kecerdasan: Pedoman bagi orang tua dan guru dalam mendidik anak cerdas, Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2003.
Suryabrata, Sumadi, Psikologi Kepribadian, Jakarta: Rajawali,1990.
Yusuf, Syamsu & A. Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan dan Konseling, Bandung: PPs UPI & Remaja Rosdakarya, 2005
Zohar, Danah & Ian Marshal, SQ: spiritual Intelegence the Ultimate Intelegence, London: Vloomsbury Publising, 2000.

Integrasi Dimensional Kecerdasan Qalbiah dalam Ranah Pendidikan

Integrasi Dimensional Kecerdasan Qalbiah dalam Ranah Pendidikan
Oleh Imam Mawardi

Pendidikan sebagai suatu proses transformasi yang memanfatkan dan mengaktualisasikan potensi manusia secara maksimal dari sisi perkembangan jasmani, psikis, moral, sosial dan spiritual. Dalam upaya ini pendidikan sebagi proses humanisasi dan sosial mempertimbangkan norma-norma sosial, ekonomi dan filosofis yang berlaku di dalamnya dengan selalu mendasarkan pada pentingnya proses pertumbuhan dan perkembangan manusia. Dari sini manusia diarahkan, dibiasakan dan dididik untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi yang terintegrasi dengan apa yang dinamakan kepribadian. Sebagaimana yang telah diuraikan di muka, bahwa kesehatan mental dalam pengembangan kepribadian yang di dalamnya terpolah atas kalbu, akal dan nafsu, bila tetap dalam kendali kalbu maka masing-masing potensi akan memunculan sifat positif yang akan mendatangkan kecerdasan. Fungsi kalbu sendiri dalam hal ini selain berdaya emosi juga berdaya kognisi, bahkan dapat menjadi alat untuk menangkap hal-hal yang doktriner, memperoleh hidayah, ketakwaan, rahmah, serta mampu memikirkan dan merenungkan sesuatu .

Adapun kecerdasan yang dimotori kalbu ini untuk menggambarkan sejumlah kemampuan diri dan berbagai aktivitasnya dalam pengelolaan fungsi-fungsi kepribadian, adalah sebagai berikut:

Kecerdasan Intelektual (intuitif)

Kecerdasan intelektual yaitu kecerdasan kalbu yang berkaitan dengan penerimaan dan pembenaran pengetahuan yang bersifat intuitif-ilahiah, seperti wahyu (untuk para rasul dan nabi) dan ilham atau firasat (untuk manusia biasa yang shalih). Adanya sifat ini sebagai pembeda dengan kecerdasan intelektual yang ditimbulkan oleh akal fikiran yang bersifat rasional insaniah. (Mujib & Jusuf Mudzakir, 2001:328). Secara umum kecerdasan intelektual adalah kecerdasan yang berhubungan dengan proses kognitif seperti berfikir, daya menghubungkan, dan menilai atau mempertimbangkan sesuatu. Atau kecerdasan yang berhubungan dengan strategi pemecahan masalah dengan menggunakan logika. (lihat Zohar & Ian Marshall, 2000: 3)

Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional yaitu kecerdasan kalbu yang berkaitan dengan pengendalian nafsu-nafsu impulsif dan agresif. Kecerdasan ini mengarahkan manusia untuk bertindak secara hati-hati, waspada, tenang, sabar dan tabah ketika mendapat musibah, dan berterima kasih ketika mendapat kenikmatan. (Mujib & Jusuf Mudzakir, 2001: 328).

Kecerdasan emosional yang dikembangkan Daniel Golemen ini, merujuk pada kemampuan seseorang mengendalikan diri ketika marah, takut, gembira, kasmaran, terkejut, terpesona, muak, tersinggung, dan berduka.(1995:6-7). Jadi pada hakekatnya adalah kemampuan meredam gejolak emosinya.

Menurut penelitian Tomlinson-Keasey dan Little (dalam Satiadarma & Sadalis E. Waruwu, 2003:37) bahwa sukses seseorang dalam pendidikan dan pekerjaan sangat dipengaruhi oleh kecenderungan kepribadian yang bersangkutan, pendidikan orang tua dan variabel lingkungan rumah tangga. Pola asuh orang tua sangat berperan untuk meningkatkan kecerdasan emosional anak, dengan demikian agar anak-anak kelak mampu mengendalikan emosinya dengan baik, orang tua harus memberi contoh bagaimana mengendalikan emosi dengan baik.

Secara rinci unsur-unsur dan indikator kecerdasan emosional dapat disimak pada tabel berikut:

Kesadaran Diri
a.mengenal dan merasakan emosi sendiri
b.Memahami faktor penyabab perasaan yang timbul
c.Mengenal pengaruh perasaan terhadap tindakan

Mengelola Emosi
a.Bersikap toleran terhadap frustasi
b.Mampu mengendalikan marah secara lebih baik
c.Dapat mengendalikan perilaku agrasif yang merusak diri sendiri dan orang lain
d.Memiliki perasaan yang positif tentang diri sendiri dan orang lain
e.Memiliki kemampuan untuk mengatasi stress
f.Dapat mengurangi perasaan kesepian dan cemas

Memanfaatkan Emosi secara Produktif
a.Memiliki rasa tanggung jawab
b.Mampu memusatkan perhatian pada tugas yang dikerjakan
c.Tidak bersikap implusive

Empati
a.mampu menerima sudut pandang orang lain
b.Memiliki kepekaan terhadap perasaan orang lain
c.Mampu mendengarkan orang lain

Membina Hubungan
a.Memahami pentingnya membina hubungan dengan orang lain
b.Dapat menyelesaikan konflik dengan orang lain
c.Memilliki kemampuan berkomunikasi dengan orang lain
d.Memiliki sikap tenggang rasa
e.Memiliki perhatian terhadap keopentingan orang lain
f.Dapat hidup selaras dengan kelompok
g.Bersikap senang berbagi rasa dan bekerjasama
h.Bersikap demokratis
Sumber: Landasan Bimbingan & Konseling, 2005: 241.

Kecerdasan Moral

Kecerdasan moral yaitu kecerdasan kalbu yang berkaitan dengan hubungan kepada sesama manusia dan alam semesta. Kecerdasan ini mengarahkan seseorang untuk bertindak dengan baik, sehingga orang lain merasa tenang dan gembira kepadanya tanpa rasa sakit, iri hati, dengki, dendam dan angkuh. (Mujib & Jusuf Mudzakir, 2001: 328).

Secara umum kecerdasan moral berhubungan dengan kemampuan yang tumbuh perlahan-lahan untuk merenungkan mana yang benar dan mana yang salah, dengan menggunakan sumber emosional dan intelektual pikiran manusia (Coles, 2000:x,3). Indikator untuk mengukur tentang prilaku baik dan buruk dan kemampuan menginternalisasikan prilaku yang baik dalam kehidupan sehari-hari dalam konsep pendidikan Islam masuk muatan pelajaran akhlak.

Kecerdasan Spiritual

Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan kalbu yang berhubungan dengan kualitas batin seseorang. Kecerdasan ini mengarahkan seseorang untuk berbuat lebih manusiawi, sehingga dapat menjangkau nilai-nilai luhur yang mungkin belum tersentuh oleh akal fikiran manusia. (Mujib & Jusuf Mudzakir, 2001: 328). Pendek kata kecerdasan spiritual merupakan kesadaran dalam diri yang membuat manusia menemukan dan mengembangkan bakat-bakat bawaan, intuisi, otoritas batin, kemampuan membedakan yang salah dan benar serta kebijaksanaan. (Satiadarma & Sadalis E. Waruwu, 2003:42).

Kecerdasan spiritual bukanlah doktrin agama yang mengajak umat manusia untuk ‘cerdas’ dalam memilih atau memeluk salah satu agama yang dianggap benar. Kecerdasan spiritual lebih merupakan konsep yang berhubungan dengan bagaimana mengelola dan mendayagunakan makna-makna, nilai-nilai dan kualitas-kualitas kehidupan spiritualnya, sehingga memiliki hasrat untuk hidup bermakna (the will to meaning) yang memotivasi kehidupan manusia untuk senantiasa mencari makna hidup (the meaning of life) dan mendambahkan hidup bermakna (the meaningful life). Sehingga dapat difahami bahwa seseorang yang taat beragama belum tentu memiliki kecerdasan spiritual, acapkali mereka memiliki sikap fanatisme, eksklusivisme, dan intoleransi terhadap pemeluk agama lain, sehingga mengakibatkan permusuhan dan peperangan. Sebaliknya, bisa jadi seseorang yang humanis-non-agamis memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi, sehingga sikap hidupnya inklusif, setuju dalam perbedaan (agree in disagreement), dan penuh toleran. Hal ini mengindikasikan bahwa makna “spirituality” (keruhanian) dalam pengertian ini tidak selalu berarti agama atau bertuhan. (Mujib & Jusuf Mudzakir, 2001: 324-325).

Untuk mengembangkan kecerdasan spiritual, setidaknya harus di mulai dari lingkungan keluarga, yakni dengan cara melatih anak-anak melakukan tugas hariannya dengan kesadaran dan dorongan motivasi dari dalam, anak diberi kasih sayang dan tidak perlu dimanjakan karena akan mengembangkan sifat mementingkan diri sendiri dan mengabaikan kebutuhan orang lain, kikir dan berpikiran sempit. Anak perlu belajar untuk bisa menerima dan mendengarkan dengan baik baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Orang tua harus menciptakan suasana lingkungan keluarga penuh kasih dan pengalaman saling memaafkan, dan banyak lagi yang intinya orang tua harus menjadi model bagi anak-anaknya untuk melayani, rela berkorban dan mengutamakan kepentingan bersama daripada kepentingan diri sendiri, karena yang memandu setiap perbuatan adalah apa yang bernilai bagi sesama.

Kecerdasan Beragama

Kecerdasan beragama adalah kecerdasan kalbu yang berhubungan dengan kualitas beragama dan bertuhan. Kecerdasan ini mengarahkan pada seseorang untuk berperilaku secara benar, yang puncaknya menghasilkan ketakwaan secara mendalam, dengan dilandasi oleh enam kompetensi keimanan, lima kompetensi keislaman, dan multi kompetensi keihsanan. (Mujib & Jusuf Mudzakir, 2001: 328). Kecerdasan agama dalam hirarki ini tentunya merupakan tingkatan yang tertinggi daripada kecerdasan kalbu yang lain. Seseorang yang memiliki kecerdasan ini seharusnya telah melampaui kecerdasan intelektual, emosional, moral, dan spiritual, karena keempat kecerdasan ini merupakan bagian dari kecerdasan agama, sebagaimana firman Allah yang memerintahkan berislam secara kaffah “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”.( Al-Baqarah: 208)

Dalam konsep pendidikan Islam, kelima kecerdasan ini harus difahami dengan pendekatan sistem, artinya pada masing-masing kecerdasan merupakan bagian-bagian yang otonom tetapi saling terkait dan terpadu. Terminologi kecerdasan kalbu sebagaimana dijelaskan Allah swt.: ”Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka berakal atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesunggugnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang ada di dalam dada” (QS. Al-Hajj: 46).

Kecerdasan qalbiah akan terjadi ketika kalbu mampu berinterksi dengan akal, yaitu merupakan gabungan antara fakultas zikir (hati) dan fikir (rasio) yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang berpredikat ulil albab. Sebagaimana Firman Allah swt: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran; 190-191)

Dalam hubungannya dengan ranah pendidikan, konsep kesehatan mental dalam membentuk kepribadian muslim yang ideal, bukan dengan serta merta “menjadi”, tapi memerlukan proses transformasi melalui transfer pengetahuan (transfer of knowledge) dan transfer nilai-nilai (transfer of value) secara istiqamah (continue) ke dalam diri manusia. Pemahaman ini diperoleh berdasarkan ketiga aspek iman, islam dan ihsan yang sejajar dengan kognisi, afeksi dan amalan sebagai sisi aspek spiritual seorang muslim. Baharuddin (2004:272) menjelaskan, jika konsep iman, islam dan ihsan tersebut dipandang sebagai sisi positif, maka kufur adalah sisi negatifnya. Hal ini merupakan konsekuensi logis ungkapan Al-Qur’an yang menyatakan bahwa al-nafs memiliki potensi taqwa (baik, positif) dan sekaligus juga memiliki potensi fujur (buruk, negatif). “maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan (fujur) dan ketakwaannya (taqwa)” (QS. Asy Syam: 8).

Dengan demikian, pengembangan kepribadian muslim adalah sebuah keharusan fitrah kemanusiaan dalam mengeksplorasi segala potensi positif yang “dicelupkan” melalui penghayatan ajaran Islam dalam aktifitas di setiap sisi kehidupan, sehingga kehidupan yang diharapkan benar-benar menjadi dambaan yang bermakna. Untuk itulah seyogyanyalah nilai-nilai luhur menjadi penuntun untuk memahami makna hidup (al-hayah). Inna al-hayah hiya al-harakah wa al-harakah hiya al-barakah wa al-barakah hiya al-ni’mah wa al-ziyadah wa al-sa’adah. Hidup adalah bergerak (dinamis) yang dapat membawa berkah, dan hidup yang berkah adalah hidup yang membawa nikmat, nilai tambah dan kebahagiaan (di dunia dan akhirat). Semoga. Allahu a’lam bi shawab.

Kesehatan Mental: Solusi Pengembangan Kecerdasan Qalbiah - 2

Kesehatan Mental: Solusi Pengembangan Kecerdasan Qalbiah (bagian 2)
Oleh Imam Mawardi Rz

Apabila hamba Allah telah berhasil melakukan pendidikan dan pelatihan penyehatan, pengembangan dan pemberdayaan jiwa (mental),--seperti yang ditulis M. Hamdani Bakran Adz-Dzaky (2001)--maka ia akan dapat mencapai tingkat kejiwaan atau mental yang sempurna, yaitu akan tersingkap Pertama, Kesempurnaan Jiwa, yaitu integritasnya jiwa muthmainnah (yang tentram), jiwa radhiyah (jiwa yang meridhai), dan jiwa yang mardhiyah (yang diridhai) sehingga memiliki stabilitas emosional yang tinggi dan tidak mudah mengalami stress, depresi dan frustasi. Jiwa ini selalu akan mengajak pada fitrah Ilahiyah Tuhannya. Indikasi hadirnya jiwa ini akan terlihat pada prilaku, sikap dan gerak-geriknya yang tenang, tidak tergesa-gesa, penuh pertimbangan dan perhitungan yang matang, tepat dan benar, tidak terburu-buru untuk bersikap apriori dan berprasangka negatif. Jiwa radhiyah akan mendorong diri bersikap lapang dada, tawakkal, tulus ikhlas dan sabar dalm mengaplikasikan perintah Allah dan menjauhi seluruh larangan-Nya dan meneima dengan lapang dada segala ujian dan cobaan yang datang dalam hidup dan kehidupannya, dalam artian hampir-hampir tidak pernah mengeluh, merasa susah, sedih dan takut menjalani kehidupan ini (lihat QS. Yunus: 62-64). Sedangkan jiwa mardhiyah adalah jiwa yang telah memperoleh title dan gelar kehormatan dari Allah swt. Sehingga keimanan, keislaman,dan keihsanannya tidak akan pernah mengalami erosi, dekadensi dan distorsi. Dalam hal ini diberikan otoritas penuh kepada jiwa untuk berbuat, berkarya dan beribadah di dalam ruang dan waktu Tuhannnya yang terlepas dari jangkauan makhluk. (periksa QS. Al-Fajr: 27-30).

Kedua, Kecerdasan Uluhiyah, yaitu kemampuan fitrah seseorang hamba yang shalih untuk melakukan interaksi vertikal dengan Tuhannya; kemampuan mentaati segala apa yang telah diperintahkan dan menjauhi diri dari apa yang dilarang dan dimurkai-Nya serta tabah terhadap ujian dan cobaan-Nya. Sehingga dengan kecerdasan ini akan terhindar dari sikap menyekutukan Allah (syirik), sikap menganggap remeh hukum-hukum-Nya atau sikap menunda-nunda diri untuk melakukan kebaikan dan kebenaran (fasiq), sikap suka melanggar hukum Allah (zhalim), sikap mendua dihadapan-Nya (nifaq), dan sikap suka mengingkari atau mendustakan ayat-ayat-Nya (kufur). Kedekatan Allah akan membuat hamba-Nya menyaksikan kebesaran dan kesucian-Nya (ihsan) dengan interaksi vertikal yang bersifat transendental, empirik dan hidup, bukan spekulasi dan ilusi. Firman Allah: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku adalah dekat” (QS. Al-Baqarah: 186), “Dan Kami lebih dekat kepada manusia daripada urat lehernya” (QS. Qaaf:16). Jadi, kecerdasan uluhiyah adalah kesempurnaan fitrah yang dimiliki oleh seorang hamba yang shalih, sehingga dapat merasakan kehadiran Allah dalam setiap aktifitasnya, merasakan bekasan-bekasan pengingkaran, kedurhakaan dan dosa, dan mampu mengalami mukasyafah akal fikiran, qalb dan inderawi.

Ketiga, Kecerdasan Rububiyah, yaitu kemampuan fithrah seorang hamba yang shalih dalam hal: memelihara dan menjaga diri dari hal-hal yang dapat menghancurkan kehidupanya (QS. At-Taubah:112); mendidik diri agar menjadi hamba yang pandai menemukan hakekat citra diri dengan kekuatan ilmu (QS. Al-Kahfi:65); membimbing diri secara totalitas patuh dan tunduk kepada Allah serta dapat memberikan kerahmatan pada diri dan lingkungannya (“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…”(QS. At-Tahrim: 6); menyembuhkan dan menyucikan diri dari penyakit dan gangguan yang dapat melemahkan bahkan menghancurkan potensi jiwa, akal fikiran, qalbu dan inderawi di dalam menangkap dan memahami kebenaran-kebenaran hakiki dengan melakukan pertaubatan dan perbaikan diri seutuhnya (An-Nisa’:108). Dengan demikian indikasi seseorang yang telah memperoleh kecerdasan rububiyah biasanya ia memiliki kekuatan, kewibawaan dan otoritas yang sangat kuat dalam hal menanamkan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, mempengaruhi dan mengajak untuk melakukan perbaikan dan perubahan yang positif pada prilakum sikap dan penampilan yang tulus dan lapang dada tanpa adanya paksaan dan tekanan baik kepada dirinya atau orang lain dan lingkungannya; memberikan penyembuhan terhadap penyakit, baik penyakit yang bersifat psikologis, spiritual, moral ataupun fisik; dan memberikan perawatan terhadap kualitas keimanan, keislaman, keihsanan baik terhadap diri maupun lingkungan sekitarnya.

Keempat, Kecerdasan Ubudiyah, yitu kemampuan fitrah seseorang yang shalih dalam mengaplikasikan ibadah dengan tulus tanpa merasa terpaksa dan dipaksa, akan tetapi menjadikan ibadah sebagai kebutuhan yang sangat primer dam merupakan makanan bagi ruhani dan jiwanya. Firman Allah “Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberikan petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah” (Al-Ambiyaa’:73). Jadi kecerdasan ubudiyah suatu anugerah dari Allah swt berupa kemampuan dan skill mengaplikasikan sikap penghambaan sangat tulus dan otomatis, baik dalam keadaan sendiri maupun jamaah, baik secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, baik secara vertikal atau horisontal, baik dalam kondisi bagaimanapun, dimanapun dan kapanpun.

Kelima, Kecerdasan Khuluqiyah, ialah kemampuan fitrah seseorang yang shalih dalam berperilaku, bersikap dan berpenampilan terpuji. Dalam hal ini terintegrasi dalam akhlak yang baik. Suatu perbuatan atau prilaku dapat dikatakan sebagai akhlak apabila memenuhi dua syarat, yaitu (1) perbuatan dilakukan dengan berulang-ulang. Apabila perbuatan hanya dilakukan sesekali saja, maka perbuatan itu tidak dapat dikatakan sebagai akhlak. (2) perbuatan timbul dengan mudah tanpa dipikirkan atau diteliti lebih dalam sehingga ia benar-benar merupakan suatu kebiasaan. Jika perbuatan itu timbul karena terpaksa atau setelah dipikirkan atau dipertimbangkan secara matang, tidaklah disebut akhlak. Karena akhlak Islamiyah mempunyai ciri yaitu kebaikannya bersifat mutlak (al-khairiyah al-muthlaqah), kebaikannya bersifat menyeluruh (as-salahiyyah al-‘ammah), tetap, langgeng dan mantap, kewajiban yang harus dipatuhi (al-ilzam al-mustajab), dan pengawasan yang menyeluruh (ar-raqabah al-muhithah). Firman Allah “Sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak (budi pekerti) yang agung” (QS. Al-Qalam: 4), Hadits Nabi “Sesungguhnya aku telah diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (HR. Ahmad dari Abu Hurairah).

Dengan demikian, atas tersingkapnya karakter lima kecerdasan sebagaimana disebutkan di atas, merupakan pengejawantahan dari wujud kesehatan mental sebagai solusi pengembangan qalbiah itu sendiri. Adapun bentuknya terefleksikan dari struktur kepribadian. Jika struktur dalam kendali kalbu, maka komponen nafsani manusia memiliki potensi positif, yang apabila dikembangkan secara maksimal akan mendatangkan kecerdasan yang teraktualisasikan sebagai kecerdasan qalbiyah yang meliputi: kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan moral, kecerdasan spiritual, dan kecerdasan beragama. Dari sini insyaallah potensi manusia dalam aktualisasinya sebagai khalifah fil ardy akan mewujudkan sosok insan kamil yang membawa misi rahmatan lil ‘alamin.

Kesehatan Mental: Solusi Pengembangan Kecerdasan Qalbiah - 1

Kesehatan Mental: Solusi Pengembangan Kecerdasan Qalbiah (bagian 1)
Oleh Imam Mawardi Rz

Kecerdasan qalbiyah merupakan akibat dari kesehatan mental seseorang yang tidak sekedar hadir begitu saja, namun memerlukan proses dinamika seiring dengan perjalanan hidup seseorang itu sendiri. Dalam kecerdasan qalbiyah ditekankan pemanfaatan potensi manusia secara integral dalam hubungannya dengan pengembangan kepribadian, hal ini haruslah disertai prinsip yang berguna dalam upaya pemeliharaan dan peningkatan kesehatan mental serta pencegahan terhadap gangguan-gangguan mental.

Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
1.Prinsip yang didasarkan atas sifat manusia, meliputi:
a.Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan atau bagian yang tidak terlepas dari kesehatan fisik dan integritas organisme
b.Untuk memelihara kesehatan mental dan penyesuaian yang baik, perilaku manusia harus sesuai dengan sifat manusia sebagai pribadi yang bermoral, intelektual, relegius, emosional dan sosial.
c.Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan integrasi dan pengendalian diri, yang meliputi pengendalian pemikiran, imajinasi, hasrat, emosi dan perilaku
d.Dalam pencapaian dan khususnya memelihara kesehatan dan penyesuaian mental, memperluas pengetahuan tentang diri sendiri merupakan suatu keharusan
e.Kesehatan mental memerlukan konsep diri yang sehat, yang meliputi: penerimaan diri dan usaha yang realistis terhadap status atau harga dirinya sendiri
f.Pemahaman diri dan penerimaan diri harus ditingkatkan terus menerus memperjuangkan untuk peningkatan diri dan realisasi diri jika kesehatan dan penyesuaian mental hendak dicapai
g.Stabilitas mental dan penyesuaian yang baik memerlukan pengembanagn terus-menerus dalam diri seseorang mengenai kebaikan moral yang tertinggi, yaitu: hokum, kebijaksanaan ketabahan, keteguhan hati, penolakan diri, kerendahan hati, dan moral
h.Mencapai dan memelihara kesehatan dan penyesuaian mental tergantung kepada penanaman dan perkembangan kebiasaan yang baik
i.Stabilitas dan penyesuaian mental menuntut kemampuan adaptasi, kapasitas untuk mengubah meliputi mengubah situasi dan mengubah kepribadian
j.Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan perjuangan yang terus-menerus untuk kematangan dalam pemikiran, keputusan, emosionalitas dan perilaku
k.Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan belajar mengatasi secara efektif dan secara sehat terhadap konflik mental dan kegagalan dan ketegangan yang ditimbulkannya.

2.Prinsip yang didasarkan atas hubungan manusia dengan lingkungannya, meliputi:
a.Kesehatan dan penyesuaian mental tergantung kepada hubungan interpersonal yang sehat, khususnya di dalam kehidupan kluarga
b.Penyesuaian yang baik dan kedamaian pikiran tergantung kepada kecukupan dalam kepuasan kerja
c.Kesehatan dan penyesuaian mental tanpa distorsi dan objektif.

3.Prinsip yang didasarkan atas hubungan manusia dengan Tuhan, meliputi:
a.Stabilitas mental memerlukan seseorang mengembangkan kesedaran atas realitas terbesar daripada dirinya yang menjadi tempat bergantung kepada setiap tindakan yang fundamental
b.Kesehatan mental dan ketenagan hati memerlukan hubungan yang konstan antara manusia dengan Tuhannya.
(Schneiders dalam Notosoedirjo & Latipun, 2001:29-30)

Dengan prinsip-prinsip sebagaimana disebutkan di atas, maka potensi manusia perlu dikembangkan dengan latihan-latihan dan pembiasaan-pembiasaan tertentu dalam mewujudkan pribadi yang utama, yaitu pribadi yang memiliki kecerdasan qalbiyah. Hanna Djumhana Bastaman (1995:151-152) menawarkan tiga cara untuk peningkatan diri yang semuanya merupakan strategi sadar untuk mengubah nasib menjadi lebih baik.

Cara pertama adalah hidup secara islami, dalam arti berusaha secara sadar untuk mengisi kegiatan sehari-hari dengan hal-hal yang bermanfaat dan sesuai dengan nilai-nilai aqidah, syari’ah dan akhlak, aturan-aturan Negara, dan norma-norma kehidupan bermasyarakat, serta sekaligus berusaha menjauhi hal-hal yang dilarang agama dan aturan-aturan yang berlaku.

Cara kedua adalah melakukan latihan intensif yang bercorak psiko-edukatif. Misalnya yang dikemas dalam program dan paket-paket pelatihan pengembangan pribadi, seperti TA (Transactional Analysis), Asertif (Assertiveness), Pengenalan dan Pengembangan Diri (Self Development), AMT (Achievement Motivation Training), Menjadi Orang Tua Efektif (Parent Effectiveness Training), Komunikasi Lintas Budaya (Trancultural Communication). Semuanya bertujuan meningkatkan aspek-aspek psiko-sosial yang positif dan mengurangi aspek-aspek negatif, baik yang masih potensial maupun yang sudah teraktualisasi dalam perilaku, tentunya semuanya itu harus dimodifikasi secara mandasar dengan landasan dan warna Islami. Dengan pelatihan yang bercorak psiko-edukasi ini, diharapkan menyadarkan diri akan keunggulan dan kelemahannya, mampu menyesuaiakan diri, menemukan arti dan tujuan hidupnya dan menyadari serta menghayati betapa pentingnya meningkatkan diri.

Cara ketiga yaitu dengan pelatihan disiplin diri yang lebih berorientasi spiritual-relegius , yakni mengintensifkan dan meningkatkan kualitas ibadah, contohnya dengan berdzikir (QS. Al-Baqarah: 152). Dzikrullah akan berpengaruh terhadap kematangan pribadi dan kesehatan jiwa, apalagi hasil dari shalat yang dimasyhurkan sebagai tiang agama (imaduddin), merupakan mi’raj bagi kaum beriman (ash-shalaatu mi’rajul mu’miniin), dan dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar (inna shalaata ‘anil fakhsyaa-I wal munkar).

Para nabi dan orang-orang yang salih memiliki kecerdasan qalbiah melalui cara pensucian jiwa (tazkiyah al-nafs) dan latihan-latihan spiritual (al-riyadha). Dengan demikian untuk mendapatkan bentuk kecerdasan ini tidak hanya berpangku tangan tetapi harus diusahakan secara istiqamah dengan mensucikan diri dari hal-hal yang haram dan dilarang Allah dan Rasul-Nya, serta membiasakan diri dengan latihan-latihan spiritual, banyak membaca baik ayat-ayat Qauliah dengan merenungkan maknanya dan merefleksikan dalam tindak-tanduk perbuatan sehari-hari, maupun ayat-ayat Kauniyah yang ada di alam semesta untuk dikaji dengan penelitian-penelitian sebagai dasar mengembangkan kehidupan yang bermakna.

Kesehatan Mental dan Dinamika Kepribadian dalam Islam - 2

Kesehatan Mental dan Dinamika Kepribadian dalam Islam (bagian 2)
Oleh Imam Mawardi

Dalam perspektif psikologi Islam, struktur kepribadian tidak bisa dilepaskan dari pembahasan dari substansi manusia itu sendiri, sebab dengan pembahasan substansi tersebut dapat diketahui hakekat dan dinamika prosesnya. Abdul Majid & Jusuf Mudzakir (2001:38-39) mengelompokkan ke dalam 3 substansi, yaitu substansi jasmani, substansi ruhani dan substansi nafsani. Hal ini berbeda pada umumnya para ahli yang membagi substansi manusia atas jasad dan ruh. Jasad tanpa ruh merupakan substansi yang mati, sedangkan ruh tanpa jasad tidak dapat teraktualisasi. Karena saling ketergantungan maka diperlukan perantara yang dapat menampung kedua unsur yang berlawanan, yang dalam terminology psikologi Islam disebut nafs. Dalam khasanah Islam nafs sendiri banyak pengertian: jiwa (soul), nyawa, ruh, konasi yang berdaya syahwat dan ghadhab, kepribadian, dan substansi psikofisik manusia. Namun maksud bahasan ini adalah pengertian terakhir, dimana nafs memiliki natur gabungan jasadi-ruhani (psikofisik)

Substansi nafs memiliki potensi gharizah, yaitu potensi bawaan yang ada pada psikofisik manusia yang dibawanya sejak lahir dan yang akan menjadi pendorong serta penentu bagi tingkah laku manusia, baik berupa perbuatan, sikap, ucapan, dan sebagainya. Tiga daya substansi nafsani manusia, yaitu: (1) kalbu (fitrah ilahiyah) sebagai aspek supra-kesadaran manusia yang memiliki daya emosi (rasa); (2) akal (fitrah insaniyah) sebagai aspek kesadaran manusia yang memilki daya kognisi (cipta); dan (3) nafsu (fitrah hayawaniyah) sebagai aspek pra atau bawah-kesadaran manusia yang memilki daya konasi (karsa). Ketiga komponen ini berintegrasi untuk mewujudkan satu tingkah laku. Dari sudut tingkatannya, kepribadian itu merupakan integrasi dari aspek-aspek supra-kesadaran (fitrah ketuhanan), kesadaran (fitrah kemanusiaan), dan pra atau bawah-kesadaran (fitrah-kebinatangan). Sedang dari sudut fungsinya, kepribadian merupakan integrasi dari daya-daya emosi, kognisi, dan konasi, yang terwujud dalam tingkah laku luar (berjalan, tersenyum, berbicara dan sebagainya) maupun tingkah laku dalam (pikiran, perasaan, dan sebagainya).( Mujib & Jusuf Mudzakir, 2001:47-58).

Struktur kejiwaan manusia bersumber dari peran ruh dan jasad dengan berbagai sifatnya. Tingkatan kepribadian tergantung kepada substansi mana yang lebih dominan menguasai manusia.

Sedangkan cara kerja nafsani manusia (Mujib & Jusuf Mudzakir, 2001: 63-67) lebih jelasnya dapat dilihat dari uraian berikut:

1.Kepribadian Ammarah (nafs al-ammarah) adalah kepribadian yang cenderung pada tabiat jasad dan mengejar pada prinsip-prinsip kenikmatan (pleasure principle), di sini manusia ditentukan oleh dua daya, yaitu: (1) daya syahwat (ingin birahi, kesukaan diri, ingin tahu dan campur tangan urusan orang lain, dsb.); dan (2) daya ghadhab (tamak, serakah, mencekal, berkelahi, ingin menguasahi yang lain, keras kepala, sombong, angkuh, dsb.) Jadi orientasi kepribadian ini adalah mengikuti sifat kebinatangan. Kepribadian ammarah dapat beranjak ke kepribadian yang baik apabila telah di beri rahmat Allah swt, menuju satu tingkat di atasnya yaitu kepribadian lawwamah dengan melalui latihan (riyadhah) khusus untuk menekan daya nafsu dari hawa. Allah swt berfirman: “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyeruh pada perbuatan buruk, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku” (QS. Yusuf:53)

2.Kepribadian Lawwamah (nafs al-awwamah) merupakan kepribadian yang didominasi oleh komponen akal yang mengikuti prinsip rasionalistik dan realistik yang membawa manusia pada tingkat kesadaran. Sebenarnya kedudukan kepribadian ini berada dalam kebimbangan antara kepribadian ammarah dan muthmainnah, kadang tumbuh perbuatan yang buruk, karena dapat cahaya kalbu kemudian sadar dan selanjutnya bertaubat. Firman Allah swt: “Dan aku bersumpah dengan jiwa yang menyesali” (QS. Al-Qiyamah:2)

3.Kepribadian Muthmainnah (nafs al-muthmainnah) adalah kepribadian yang telah diberi kesempurnaan nur kalbu, sehingga dapat meninggalkan sifat-sifat tercela dan tumbuh sifat-sifat yang baik, hal ini menjadikan tenang,”Hai kepribadian yang tenang, kembalilah pada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya” (QS. Al-Fajr:27-28), merasakan thuma’ninah (QS. Al-Ra’d:28). Kepribadian ini berbentuk enam kompetensi keimanan, lima kompetensi keislaman, dan multi kompetensi keihsanan.

Akhirnya, dengan mengedepankan nilai-nilai luhur kepribadian manusia berdasarkan daya kalbu dalam kehidupan sehari-hari akan tercermin sebagai tanda mental yang sehat. Adapun tanda-tanda mental yang sehat sendiri menurut Muhammad Mahmud Mahmud (1984:336-337) terdapat sembilan macam, yaitu;

1.Kamapanan (sakinah), ketenangan (al-thuma’ninah), dan rileks (al-rahah)/ keadaan batin yang santai dalam menjalankan kewajiban, baik kewajiban terhadap dirinya, masyarakat maupun Tuhan.(QS. Al-fath:4, Al-Ra’d:28)
2.Memadahi (al-kifayah) dalam beraktivitas (QS. Yasin:35)
3.Menerima keberadaan dirinya dan keberadaan orang lain (QS.al-Nisa’:32)
4.Adanya kemampuan untuk memelihara atau menjaga diri. (QS. Al-Nazi’at:40-41)
5.Kemampuan untuk memikul tanggung jawab, baik tanggung jawab keluarga, sosial maupun agama.(QS. An-Nahl:93)
6.Memiliki kemampuan untuk berkorban dan menebus kesalahan yang diperbuat.(QS. Al-Shaf:10-12)
7.Kemampuan individu untuk membentuk hubungan sosial yang baik yang dilandasi sikap- saling percaya dan saling mengisi. (QS.al-Hujurat:10)
8.Memiliki keinginan yang realistik, sehingga dapat diraih secara baik. Hal ini sesuai dengan hadits nabi yang mauquf riwayat Ibnu Qutaibah:”Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup untuk selamanya, dan beramalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau mati esok hari”.
9.Adanya rasa kepuasan, kegembiraan (al-farh/al-surur) dan kebahagiaan (al-sa’adah) dalam mensikapi atau menerima nikmay yang diperoleh. (QS. Yunus:58, Hud:108)

Dengan demikian pengembangan kesehatan mental terintegrasi dalam pengembangan kepribadian pada umumnya, dalam artian kondisi kejiwaan yang sehat merupakan hasil sampingan (by product) dari kondisi pribadi yang matang secara emosional, intelektual, dan sosial, serta terutama matang pula keimanan dan ketakwaanya kepada Allah swt. Maka, nyatalah bahwa pengembangan pribadi untuk meraih kualitas manusia sebagai pribadi, makhluk sosial dan sebagai hamba Allah di mana fikirannya sarat dengan hal-hal yang positif terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, hatinya dipenuhi dzikir atas ketakwaanya, serta sikap dan perbuatan mencerminkan nilai-nilai luhur ajaran Islam yang diaktualisasikan dalam kehidupan bermasyarakat.

Kesehatan Mental dan Dinamika Kepribadian dalam Islam - 1

Kesehatan Mental dan Dinamika Kepribadian dalam Islam (bagian 1)
Oleh Imam Mawardi Rz

Istilah “kesehatan mental” diambil dari konsep mental hygiene. Kata mental diambil dari bahasa Yunani, pengertiannya sama dengan psyche dalam bahasa Latin yang artinya psikis, jiwa atau kejiwaan. Jadi istilah mental hygiene dimaknakan sebagai kesehatan mental atau jiwa yang dinamis bukan statis karena menunjukkan adanya usaha peningkatan. (Notosoedirjo & Latipun, 2001: 21).

Zakiah Daradjat (1985:10-14) mendefinisikan kesehatan mental dengan beberapa pengertian:
1.Terhindarnya orang dari gejala-gejala gangguan jiwa (neurose) dan dari gejala-gejala penyakit jiwa (psychose).
2.Kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan di mana ia hidup.
3.Pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan segala potensi, bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kepada kebahagiaan diri dan orang lain; serta terhindar dari gangguan-gangguan dan penyakit jiwa.
4.Terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem biasa yang terjadi, dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya.

Dengan berpijak pada pengertian di atas, kesehatan mental merupakan kemampuan diri-individu dalam mengelola terwujudnya keserasian antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri baik dengan dirinya sendiri, orang lain, maupun lingkungan sekitarnya secara dinamis dan mempunyai citra diri yang positif menjadi pribadi yang unggul dalam mencapai tujuan hidup yang bermakna.

Membicarakan pribadi yang unggul selalu dikaitkan dengan pembahasan kepribadian, di mana kepribadian (personality/syakhshiyah) sendiri tidak bisa dilepaskan dari konteks akhlak, meskipun terdapat perbedaan, yaitu syakhshiyah dalam psikologi berkaitan dengan tingkah laku yang didevaluasi (tidak dinilai baik-buruknya), yaitu tingkah laku yang tidak dapat dilihat dan diamati oleh orang lain, namun dapat diperkirakan dari gejala-gejala yang tampak dari perubahan ekspresi seseorang, seperti perasaan, cinta, benci dan sebagainya. Sedangkan akhlak berkaitan dengan tingkah laku yang dievaluasi, hal ini berkenaan dengan perbuatan baik-buruk yang membawa dampak langsung seperti prilaku terhadap orang tua, dan sikap ketika mengendalikan marah dan sebagainya. Pemilihan ini tidak berarti jika term syakhshiyah dihadapkan pada term islamiyah, karena syakhshiyah islamiyah harus difahami sebagai akhlak. Kata “Islam” yang menyertainya, memuat system nilai yang mengikat semua disiplin yang berada di dalamnya. Karena itu, kepribadian Islam selain mendiskripsikan tingkah laku seseorang juga berusaha menilai baik-buruknya.(Mujib & Jusuf Mudzakir, 2001: 37).

Menurut Sigmund Freud (1856-1939), seorang bapak psikolog dari aliran Psikoanalisa, kepribadian seseorang terstruktur atas tiga sistem pokok, yaitu:

1.Id (das es) adalah sistem kepribadian biologis yang asli, berisikan sesuatu yang telah ada sejak lahir. Ia merupakan reservoir energi psikis yang menyediakan seluruh daya untuk sistem ego dan super ego. Freud menyebut id dengan the true psychic reality (kenyataan psikis yang sebenarnya), karena id mempresentasikan dunia batin pengalaman subjektif dan tidak mengenal kenyataan objektif. Prinsip kerjanya adalah serba merngejar kenikmatan (pleasure principle) yang cenderung bersifat rasional, primitif, impulsif, dan agresif. Untuk menghindari ketidaknikmatan maka id mempunyai dua cara: pertama, refleks, yaitu reaksi-reaksi otomatis dalam tubuh, misalnya bersin, berkedip, dan sebagainya; kedua, proses primer, yaitu reaksi psikologis yang menghentikan tegangan melalui hayalan, seperti orang lapar membayangkan makanan.

2.Ego (das ich) adalah aspek psikologis kepribadian yang timbul karena kebutuhan organisme memerlukan transaksi dengan kenyataan objektif. Ego mengikuti prinsip kenyataan (reality principle) yang bersifat rasional logis dan reaksinya menurut proses skunder. Tujuan prinsip ini adalah mencegah terjadinya ketegangan sampai ditemukan suatu objek yang cocok untuk pemuasan kebutuhan. Ego disebut eksekutif kepribadian, karena ia mengontrol tindakan, memilih lingkungan untuk memberi respon, memuaskan insting yang dikehendaki dan berperan sebagai arbitrator atau pengendali konflik antara id dan super ego.

3.Super ego (das ueber ich) adalah aspek-aspek sosiologis kepribadian yang mengintegrasikan nilai-nilai moral dan cita-cita luhur. Ia mencerminkan yang ideal bukan riil, mengejar kesempurnaan dan bukan kenikmatan. Perhatian utamanya adalah membedakan yang benar dan yang salah dan memilih yang benar. Timbulnya super ego ini bersumber dari suara hati (conscience) sehingga fungsinya: (1) merintangi impuls-impuls seksual dan agresif yang aktualisasinya sangat ditentang masyarakat; (2) mendorong ego untuk lebih mengejar hal-hal yang moralitas daripada realistik; (3) mengejar kesempurnaan. Jadi super ego menentang ukuran baik-buruk id ataupun ego, dan membuat dunia menurut gambarannya sendiri yang tidak rasional bahkan menunda dan merintangi pemuasan insting.
(lihat Hall and Gardner, 1993:63-68,76; Suryabrata, 1990:145-149; Hartati,dkk, 2004:142-143)

Ketiga struktur tersebut sesuai prosesnya mengikuti prinsip yang berbeda, dalam keadaan biasa ketiga prinsip tidak saling bertentangan tetapi bekerja sama sebagai satu tim dengan diatur oleh ego. Id merupakan aspek biologis kepribadian, ego merupakan aspek psikologis kepribadian, dan super ego merupakan aspek sosiologis kepribadian. Namun, dinamika kepribadian ditentukan oleh cara energi psikis didistribusikan oleh ketiga stuktur ini yang tentunya kapasitasnya terbatas sehingga memunculkan semacam persaingan dalam menggunakan energi tersebut. Salah satu dari mereka akan mengontrol energi dengan mengorbankan kedua sistem lainnya.

Kesehatan Mental (sebuah pengantar)

Kesehatan Mental (sebuah pengantar)
oleh Imam Mawardi Rz

Kesehatan mental sebagai sebagai landasan dasar pengembangan kepribadian, yaitu terwujudnya keserasian antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri secara dinamis terhadap dirinya sendiri maupun lingkungannya dan mempunyai citra diri yang positif menjadi pribadi yang unggul dalam mencapai tujuan hidup yang bermakna. Pendidikan Islam di sini sebagai suatu wadah pembinaan mental sekaligus paradigma yang memformulasikan kepribadian, yaitu dengan substansi jasmani, substansi ruhani dan substansi nafsani sebagai satu kesatuan integral memunculkan suatu kecerdasan qalbiah, yaitu perpaduan dari unsur-unsur kecerdasan intelektual, emosional, moral, spiritual dan kecerdasan agama ke dalam pribadi muslim-insan kamil.

Kesehatan mental dan pengembangan kepribadian merupakan satu mata rantai yang berkesinambungan dalam mencapai tujuan pendidikan sebagai salah satu faktor mewujudkan tujuan hidup itu sendiri sebagaimana dikatakan Robert J. Ladge: “Education is life and life is education” dalam arti pendidikan adalah persoalan hidup dan kehidupan, dan seluruh proses hidup dan kehidupan manusia adalah proses pendidikan maka pendidikan Islam pada dasarnya hendak mengembangkan pandangan hidup islami, yang diharapkan tercermin dalam sikap hidup dan ketrampilan hidup orang Islam.(Muhaimin, 2002:39).

Hidup yang bermakna menjadi sebuah jawaban, maka dari situlah kepribadian Islam menjadi harapan di tengah-tengah kemajemukan masyarakat dan peradaban global. Sebagai alternatif, kesehatan mental merupakan solusi melalui paradigma pendidikan untuk mengembangkan sisi-sisi potensi kecerdasan qalbiyah baik secara spiritual, kognitif-intelektual, afeksi-emosional dan psikomotor-amaliah.

Kamis, Mei 08, 2008

Kebisuan Cinta


Kebisuan Cinta
(catatan untuk P.Tohirin)

oleh Mawardy El-Razal

Masih saja kau angankan bulan
yang telah berlalu
seperti mimpi pagi hari
padahal waktu terus mengejarmu
sampai uban menjelma kesadaran

Kenapa harus terjebak masa lalu
romantisme sejarah takkan berulang
seperti menghantui angan yang cemburu
pada kebisuan cinta
kau menyublim asa tak tergantikan
padahal hayalmu mengembara
hanya di ujumg jari

Pergilah untuk sekedar bertanya
tentang orgasme di siang hari
pada siapa-siapa yang memiliki kelopak
mencari kejujuran rasa
yang terikat
kemudian...
"basah" dititik keluguan
sampai kau menemukan inspirasi
di balik molek mekar melati
: Datanglah pak! bukan sekedar mimpi

Lembah Tidar, 8 Mei 2008

Selasa, Mei 06, 2008

Sebening Embun

Sebening Embun

aku yang mengais embun
pagi obsesiku berarak di sudut waktu
singgasana hati tempat istirah
membangunkan lelap
masih saja berazam
tinggalkan sisa adzan di fikiran
tanpa mengenal suasana

aku kabarkan matahari
saat lembayung menoreh warna
di impian gadis kecilku
menari-nari sejauh musim berpesta
adakah kau ikat janji
dengan syahadah cinta di tepian musim?

sebening embun... menetes di sudut matamu
cahaya datang mengintip siapa-siapa
hadirkan kejujuran semesta
bertasbih... dalam lamur pagi

gadis kecilku, ....berfikirlah pagi
tanggalkan semu
meniti salam cinta di hati abi

Magelang, Mei 2008
mawardy el-Razal

Senin, Mei 05, 2008

Hari-Hari dengan Romantika Keluarga

Hari-Hari dengan Romantika Keluarga
Abi Hany (Mawardy)

Hari ini aku hanya ingin menulis. Menulis apa saja yang sekiranya masih menari-menari difikiranku. Meskipun setumpuk kertas di mejaku belum aku periksa semenjak jum'at kemarin. Hari ini, pagi njemun (pagi sekali) jam 5.30 sudah berangkat ke dinas pendidikan kota Magelang dan di SMP 4, untuk memantau UN SMP yang hari ini adalah hari pertamanya.
Sepeda motor Astrea grand bututku melaju menembus dingin embun dan menerobos kabut, seakan menepis sisa kantuk semalaman, begadang dengan si baby. Obsesi "menjadi abi" adalah tanggung jawab yang menjadi pelajaran dari hari kehari, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun begitu banyak perubahan.
"Perubahan" adalah sebuah kenyataan. Nilai-nilai idealisme hidup yang disusun sewaktu mahasiswa mengerucut pada titik-titik pragmatisme, meskipun tidak hilang dari konsistensi. Sebenarnya kalau kita renungkan bukanlah inkonsisten yang terjadi dikehidupanku tetapi lebih pada parakonsistensi, karena ada nilai-nilai baru yang disuguhkan pendidikan di sekolah kehidupan.
Seperti istriku belajar dari tangisan dan celoteh anak dengan bahasa rahimnya menanamkan karakter kasih dan cinta, aku lebih pada membentuk konsep karakter tanggung jawab di dalam realitas anak di dunianya.
Hari-hari dengan romantika seorang istri dan 2 putri telah membingkai paradigma konsep keluarga. Keluarga sebagai dinamika hidup yang terus berlanjut karena itu konsep membikin hidup menjadi hidup bukanlah bualan tetapi obsesi cita sekaligus asa.
Dalam Ta'limul Muta'alim dituliskan Biqadril kaddi tu'tha ma tarumu sebesar perjuangan mengelola hidup pada dasarnya adalah kesuksesan cita-cita.
Do'a yang menyertai ikhtiar adalah langkah kreatif yang harus tumbuh sinergi dengan romantika hidup. Semoga.

Jumat, Mei 02, 2008

Saat si Baby... Mendidik Sisi Kewanitaanku

Saat si Baby... Mendidik Sisi Kewanitaanku
oleh Umi Hany (Evin Y)

...Sepulang ibu mertua ke Lamongan, hari-hari menjadi begitu sibuk. Masak, ngepel, kora-kora, mencuci, menyetelika menjadi bagian rutin ibu rumah tangga. Kemarin masih bisa dengan kesadaran tanggungjawab berbagi tugas dengan ibu. Kedatangan ibu begitu membantu sejak sebulan yang lalu,saat-saat anak ke-2 ku lahir. Kini anakku sudah berusia sebulan, memang belum genap selapan hari dari kelahiranya. Sedang Suamiku disibukkan dengan pekerjaannya di kampus, meski demikian rasa tanggung jawabnya begitu luar biasa bagiku.Dengan sentuhan kasih sayangnya,dengan semangat perjuangannya menjadi inspirasi yang terus mengalir untuk dapat menjadi idola bagi anak-anakku.
Saat mulai mencuci, si bayi mungil menangis, ngompol. Sedang si Kakak (3 tahun) begitu rewel minta ditemani untuk mengeja huruf-huruf di setiap lipatan majalah anak-anak. Apabila tengah sampai akhir malam hari si bayi sering merengek mengiringi nyanyian malam di saat-saat seorang mukmin berdiri, rukuk dan sujud bermunajat.Demikian pula sang Abi, tak bergeming menikmati ekstasi shalatnya. Di sini rasioku berputar, apakah harus marah dengan kondisi ini? apakah harus mengeluh dengan rutinitas seperti ini? Abi (panggilan untuk suamiku) hanya bilang "sabar" entah sudah berapa kali di sampaikan.
Suatu malam kesadaran kosmos menggelayut di dinding kalbuku, mengumpulkan sisa-sisa ta'lim yang terserak di fikiran. "Ini adalah ibadah" kataku lirih, "kenapa harus mengeluh?. Tangisan sang baby adalah kalam kauniyah yang mengikuti gerak reflek bahasa kasihNya. Ini pelajaran berharga yang tidak ditemukan dalam teori-teori buku, juga tidak dalam penjelasan sang ustadz di sebuah ta'lim, tapi ini adalah pengalaman sekaligus tantangan seorang umi, tentang merasa dan memiliki kodrat kewanitaan.
Suamiku dan kedua putri kecilku adalah guru bagaimana aku beribadah menta'dzimi hidup dengan kesadaran peran tarbiyah di sekolah kehidupan. Ya Allah, berikan pada hambamu ini selalu tersenyum dalam membaca fenomena ayat-ayatMu.