Senyuman kehidupan

Sabtu, Oktober 25, 2008

“Learning Styles”—Pendewasaan Memahami Belajar di Sekolah Kehidupan

“Learning Styles”—Pendewasaan Memahami Belajar di Sekolah Kehidupan
By Abihan (Imam Mawardi Rz)

Pagi yang berembun. Baru saja salam aku sampaikan untuk menyapa suasana fajar di hening Darut Tauhid, menjadi harapan yang indah ketika do’a subuh menjadi kesadaran keyakinan untuk memulai hidup menjadi hidup di keseharian yang berjalan.
Semalam… dalam kantuk yang kupaksakan untuk “melek”, menggeluti persiapan tugas presentasi perkuliahan Senin depan tentang “Learning Styles”. Banyak hal yang baru dan sekaligus membuka mata pendidikanku. Sebuah tinjauan dari seorang yang bukan pakar tapi sedang berusaha menggeluti esensi pendidikan itu sendiri.

“Gaya belajar” merupakan bagian integral dari hakekat penciptaan. Dimana setiap manusia mempunyai rahasia keunikan sendiri-sendiri. Perbedaan individu menjadi kesadaran, bagaimana kita bersikap untuk menghargai setiap keunikan dari manusia lain tanpa harus memaksakan seperti yang kita kehendaki. Kata Dunn, “Tak ada yang lebih tidak adil dengan perlakuan yang sama terhadap orang-orang yang berbeda”.

Oleh sebab itu menurut hemat saya, setiap orang yang menjadi orang tua dari anak-anaknya, guru dan bahkan semua manusia harus sadar dengan adanya keragaman ‘style’ dan harus berbuat lebih dari sekedar mengetahui adanya perbedaan. Barbara Prashnig, penulis buku The Power of Learning mengatakan “Para guru dan juga pendidik harus mengetahuai keragaman gaya belajar diantara manusia, baik muda maupun tua. Apabila para guru ingin berhasil merangkul seluruh siswanya, mereka harus mempertimbangkan adanya perbedaan gaya, bukan hanya dalam strategi pengajaran setiap hari melainkan juga dalam persiapan mengajar”.

Ketika siswa di kelas dapat memperoleh pengalaman saat individualitas mereka diterima dan dibiarkan, bahkan didorong untuk belajar dengan gaya dan cara mereka sendiri, maka hasilnya adalah motivasi yang meningkat, tugas sekolah menjadi menyenangkan, ketrampilan belajar membaik. Dan dengan perkembangan-perkembangan positif ini penghargaan diri mereka pun meningkat. Demikian hasil penelitian Barbara Prashnig (1998).

Demikian juga sebagai orang tua, khususnya yang saya alami dengan 2 anak yang masih kecil (3 tahun & 6 bulan), meski kini jauh di Magelang. Saya sadar, perhatian hanya bisa berikan lewat komunikasi telpon dan juga diskusi panjang dengan istri bagaimana seharusnya mempola dan membiasakan yang kadang-kadang setengah memaksa. Memang ada hasilnya, tapi tak sebagus mungkin memahami gaya belajarnya.

Yang harus menjadi perhatian bagi ortu--khususnya saya sendiri-- menyadari kenyataan bahwa setiap anak-anak memilki gaya belajar yang berbeda dan kebutuhan belajar mereka mungkin sangat berbeda dengan gaya ortu nya.

Sebagaimana yang saya pelajari semalam, kesimpulan yang saya peroleh adalah begitu orang tua mulai memahami tentang gaya belajar anak-anaknya, akan mendukung individualitas dalam hal belajar, sekolah dan pekerjaan rumah, maka kehidupan keluarga, komunikasi dan interaksi antara orangtua dan anak-anak dapat berubah menjadi lebih baik. Setelah itu, demi ketenangan semua pihak, anak-anak juga perlu memahami gaya orang tua mereka dan juga orang-orang di sekitarnya, bahwa tiap manusia diciptakan dengan keunikannya termasuk pola pikir dan gaya belajarnya. Sehingga pelajaran yang bisa diambil dari perbedaan ini adalah sikap menghargai dan tidak gampang meremehkan orang lain, karena setiap keunikan ada rahasia besar di baliknya. Allah khaliqul musawwir pencipta kejadian yang paling sempurna, maha besar Engkau ya Allah…jadikan apa yang kulihat dan kupelajari semakin meningkatkan ibadah kepadaMu. Amin.
Geger Kalong Girang-Bandung, 25 Oktober 2008

Jumat, Oktober 17, 2008

Mari Belajar

Mari Belajar
Oleh Imam Mawardi Rz (abihan)

...yang seharusnya menjadi perhatian kita adalah bagaimana belajar menjadi bagian dari hidup. Sejak kecil sudah harus diperhatikan pola belajar dalam keluarga, tentunya yang menarik, menyenangkan dan ada unsure bermain di dalamnya. Karena dunia anak sendiri adalah dunia permainan. Sebagaimana konsep belajar di usia dini, bermain sambil belajar dan belajar sambil bermain, begitu pula sebaliknya. Belajar tidak harus dari buku, justru pada masa kanak-kanak belajar yang sesungguhnya adalah interaksi fisik, pengembangan motorik halus dan motorik kasar yang dipadukan dengan pola sikap guru, pembimbing, pamong dan atau orang tua yang mampu mentransfer nilai-nilai. Bukankah pribadi-pribadi “pendidik” merupakan kurikulum tersendiri yang porsinya hampir 80% akan dicerna anak didik. Oleh sebab itu peran pendidik di masa ini menjadi sangat penting. Akan di bawa kemana anak-anak?

Keluarga menjadi sekolah yang utama, dimana nilai-nilai ditransformasikan pertama kali dan sepanjang waktu. Marta Santos Pais dalam tulisannya mengenai Rights of Children and the Family mengungkapkan:
The Family is particularly well placed to be the first democratic reality the child experience—a reality shaped by the values of tolerance, understanding, mutual respect, and solidarity, which strengthens the child’s capacity for informed participation in the decisionmaking process.(Keluarga seharusnya ditempatkan secara khusus sebagai realitas demokratis pertama yang dialami anak, yakni realitas yang di bangun dari nilai-nilai yang mencerminkan toleransi, pengertian, interaksi saling menghormati, dan solidaritas. Ini akan menguatkan kapasitas anak untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan.)

Belajar, menjadi penting. Keluarga saling belajar, lewat interaksi keseharian dari hal yang kecil, sampai membuat keputusan bersama. Tentunya semuanya dibingkai dengan aklak dan keimanan. Kalau orang tuanya jamaah sholat lima waktu di masjid, menjadi pembelajaran tersendiri bagi anak-anak. Orang tua mengaji Al-Qur’an, anak-anak akan mudah diarahkan untuk membaca Al-Qur’an. Menyuruh belajar anak-anak, orang tua juga harus belajar, bukan anak belajar tapi orang tua nonton sinetron. Hal yang demikian harus dibiasakan secara konsisten dan menjadi tanggung jawab bersama seisi keluarga.

Kalau kesadaran menjadi manusia belajar sebagai obsesi, barangkali inilah hidup yang sebenarnya. Dimulai sejak kecil dari tradisi keluarga, hidup akan mengalir. Dari pengalaman kecil yang gagal, sampai pengalaman yang menyentuh nurani. Bukankah tidak ada kegagalan dari hidup ini, justru karena kegagalan kita akan kuat, dan menemukan ide-ide kreatif serta tidak gampang terjebak dengan fenomena yang menyesatkan, kuncinya karena kita belajar.

Ta’alam fainnal ilmu zainun liahlihi, demikian yang tertulis dalam ta’limul mutalim, yang artinya belajarlah sesungguhnya ilmu menjadi perhisan bagi siapa saja yang mau belajar.