Senyuman kehidupan

Senin, September 07, 2009

Catatan Tarawih... Sebuah Cerita

Catatan Tarawih... Sebuah Cerita
Imam Mawardi RZ

Menghitung waktu yang berjalan seirama bilangan Tarawih seindah Ramadlan tahun ini di Bandung, yang konon pernah menjadi lautan api (karena dasyatnya revolusi fisik perang melawan penjajah Belanda) dan juga lautan asmara (????). Bandung dengan berbagai julukan lautan (meski tak punya laut) bukanlah hal yang penting dipersoalkan pada kesempatan kali ini (kali lain boleh lah). Demikian juga tentang bilangan tarawih, ada yang 20+3 ada yang 8+3 semua ada dasarnya tergantung keyakinan yang dianutnya. Jadi tidak perlu dipersoalkan. Ya seperti dunia penelitian, ada yang lebih suka pendekatan kuantitatif dan ada yang lebih suka pendekatan kualitatif. Mana yang lebih valid? Tergantung alasan masing-masing. Barangkali yang duapuluh tiga rekaat pakai pendekatan kuantitif dan yang sebelas rekaat menggunakan pendekatan kualitatif (iya.. biasanya yang pake 23 cepat sekali seperti ngejar target dan yang 11 agak lama surat yang dibaca panjang-panjang dan jarang-jarang--- tapi fenomena baru entah dasarnya apa, para mahasiswa suka yang 11 tapi cepat... secepat kilat). Yang penting bagiku ada nilai khusuk dalam ibadah tarawih.

Ada beberapa cerita tentang pengalaman tarawih ini, bisa menjadi kisah kalau dituturtinularkan dan bisa menjadi sejarah kalau dituliskan. Tarawih pertama setiba di Bandung, sehabis ngabuburit mengembara sampai di masjid UPI mencari rizki buka bersama (dasar anak kos) dan jamaah maghrib di sana bersama Ustad Jack (bukan bang Jack dalam PPT tapi A. Zaki Mubarak) dan Azam (bukan tokoh KCB tapi singkatan nama panggilan dari Ade Zainul Muttaqin) kemudian menuju kosku untuk membantuku berbenah, maklum Aku baru pindahan di dekat kedua homo sapien (baca: manusia pinter) ini, biar ketularan pinter kata Hizbullah Huda (wong asal Lamongan tetangganya Amrozi) yang mencarikan kos baruku ini. Sempat diskusi tentang kasur dan hal-hal lain yang Aku sudah lupa. Oh ya, ada juga yang perlu diceritakan malam itu Jack bantu Aku ambil barang-barangku yang kutitipkan di rumah Nursaid (maaf ini bukan Nursaid yang diburu Densus 88, kebetulan namanya sama gak tau siapa yang meniru lebih duluan). Kita harus yakin kalau silaturahim mendatangkan rizki, demikian juga dirumah ini… ada suguhannya kan? So pasti. Cerita ngalor ngidul di blog ini, kapan cerita tarawihnya? Tenang saja kawan, kesimpulannya aku tarawih sendiri di kos menjelang tidur. Masalah Tarawihnya Jack dan Azam? Khusnudhan sajalah bahwa mereka adalah muslim yang taat.

Tarawih kedua lebih unik (uniknya dimana ya?), sehabis buka bersama dan shalat maghrib di DT (Darut Tauhid) ketemu Gus Muhson dan Gus Pat. Gus Muhson asal Kediri, Aku tidak tahu apa hubungannya Muhson dan Ghairu Muhson, mungkin masih saudara barangkali? (karena Aku hanya tahu bahwa nama itu seperti dalam istilah Fiqh). Gus Pat (Fatkhullah) adalah kyai besar Tambakberas Jombang (Aku tak berani komentar banyak tentang dia, takut kualat… Dia banyak khizibnya lho!). Mereka berdua satu kos beda kamar. Main ke kos mereka sangat menyenangkan, di samping banyak jajan juga guyonan khas mereka gaya pesantren. Tradisi sarungan, kopyah, sorban dan biji tasbih menjadi pelengkap kekhusukan mereka beribadah. Sedianya kami Tarawih di DT, tapi tiba-tiba kok gak jadi, sudah terlambat. Jadi, Jamaah sendiri di kos-kosan mereka, yang menjadi imam Gus Pat dengan 20 rekaat. Aku sendiri berhenti sampai bilangan 8 rekaat. Bukan karena apa, cuma prinsip saja. Bukankah perbedaan itu adalah rahmat asal perbedaan itu dipahami dengan sebaik-baiknya.

Hari selanjutnya, sampai cerita ditulis di blog ini, Aku ngabuburit sendiri bersama lalulalang manusia laki-laki perempuan, anak-anak, remaja, mahasiswa berbaur deru kendaraan hilir mudik mencari ta’jil berbuka sepanjang geger kalong. Suasana menjadi indah menyenangkan seperti kerinduan bertemu surga. Jarak kosku sekarang dengan DT agak jauh berbeda dengan tahun lalu yang dekat dengan DT, hal ini menjadikan Aku sekalian melaksanakan 3 in 1, yaitu berbuka, jamaah maghrib sekaligus tarawih, baru pulang ke kos. Banyak pelajaran dipetik di sini, tentang kesabaran, tentang keikhlasan dan ketulusan menggapai makna puasa dari apa yang Aku perhatikan di sini, dari para ustadz, para santri, dan para jamaah. Aku berdiri dengan nisbi, tiada artinya egoku yang penuh kesombongan akan dosa-dosa. Semut-semut yang berbaris seakan menertawakan kebodohan dan kedunguanku selama ini. Di sini aku belajar dari mereka tentang kesederhanaan…

Bandung, 7 September 2009

Kamis, September 03, 2009

Berkah Ramadlan

Berkah Ramadlan

Imam Maawardi

Suasana Ramadlan di Bandung saat ini menjadi pengalaman yang menarik dari sebuah episode pendidikan yang sedang Aku jalani. Datang dengan semangat back to campus mengeja setiap huruf-haruf yang beterbangan seperti kunang-kunang yang hilir mudik di pelupuk mata. Ada kesan kesulitan untuk menapaki tujuan ranah belajar, tapi sebuah proses apapun bentuknya adalah sebuah dinamika yang naïf untuk diabaikan. Belajar inilah proses yang tak pernah berhenti, meskipun ada maqam-maqam pemberhentian untuk evaluasi sebelum berproses melanjutkan lagi. Menapaki waktu dengan keterbatasan financial bukanlah alasan Aku berhenti, atau lelah berfikir bukanlah alasan Aku gagal. Meski hidup berpacu dengan waktu, beberapa even kompetisi saling menyerang untuk pembenaran sendiri-sendiri, namun kualitas diri bukanlah hasil kompetisi tapi kompetensi untuk bertindak bijaksana tanpa harus bertanya mengapa. Keberhasilan adalah kemampuan bertindak arif dan hidup penuh manfaat, andaikan gagal pun setidaknya gagal dalam kebaikan.

Madrasah Ramadlan telah mendidik hidup berproses dalam rantai pendidikan yang sambung menyambung tak mengenal titik akhir untuk selalu belajar. Dimulai dengan niat yang ikhlas, dijalani dengan sabar dan penuh tawakkal, dan menghiasi hari-hari dengan amal kebajikan dimanapun, kapanpun, dan untuk apapun kebajikan ditujukan. Taqwa menjadi primadona sebuah derajat yang indah, bagi siapapun yang membaca Ramadlan dengan sepenuh hati. Di Ramadlan inilah proses belajar mencari bentuk yang terbaik. Seperti asal permata, batu granit legam lewat proses yang lama, dengan gesekan-gesekan sehingga menimbulkan panas bisa menjadi batu yang indah berwarna-warni dan sangat kuat, apabila dinjak sepatu kaca, bukannya permata itu yang hancur tapi justru sepatu kaca itu yang hancur. Maka Ramadlan adalah “kawah” tempat penggemblengan diri menjadi manusia yang sempurna setidaknya manusia yang baik, yang bermanfaat bagi kehidupan.

Aku masih berdiri, ternyata belum selesai mengeja huruf-huruf yang lama-kelamaan kabur tapi membentuk siluet pelangi. Begitu kesadaran kosmos memberi kunci-kunci seperti ilham menafsirkan huruf-huruf yang kabur membuka rahasiaNya menjadi rangkaian tulisan kehidupan. Tidak ada kata yang lebih baik kecuali berproses dalam situasi belajar dan selalu belajar. Mengeluh tidak menyelesaikan masalah. Meski dengan keterbatasan, memompa niat dengan keihklasan penuh dan kesabaran yang prima serta istiqomah selalu dijalanNya. Insyaallah dengan keyakinan yang teguh, kunci-kunci rahasiaNya akan diberikan. Bukankah selama ini setiap persoalan yang Aku alami selalu terpecahkan, Maha besar Allah, kepada-Mu segala puji atas rahmat dan hidayah dan pertolonganMu.

Ramadlan selalu memberikan keberkahan yang menghiasi kehidupanku dan keluargaku.

Bandung, 3 September 2009