Senyuman kehidupan

Selasa, Maret 11, 2008

STRATEGI PENGEMBANGAN ILMU & TANGGUNG JAWAB SOSIAL KEILMUAN

STRATEGI PENGEMBANGAN ILMU & TANGGUNG JAWAB SOSIAL KEILMUAN
Oleh Imam Mawardi

Pengembangan ilmu tidak bisa dilepaskan dengan perkembagan kemajuan pemikiran masyarakat. Hal ini sebagaimana tergambar dalam satu segi dari filsafat positivisme Auguste Comte, yaitu bahwa perkembangan jiwa atau masyarakat manusia berlangsung di atas garis linier menuju ke arah kemajuan, dan kemajuan itu digambarkan sebagai masyarakat tahap positif, atau masyarakat industrial (Wibisono, 1982:16).

Pada masyarakat industrial ini, sikap ilmiah menjadi budaya tersendiri dalam kehidupan mereka, artinya sikap ilmiah menjadi suatu pandangan seseorang terhadap cara berfikir yang sesuai dengan metode keilmuan, sehingga timbullah kecenderungan untuk menerima ataupun menolak terhadap cara berfikir yang sesuai dengan keilmuan tersebut. Seorang ilmuan jelas harus memiliki sikap positif, atau kecenderungan untuk menerima cara berfikir yang sesuai dengan metode keilmuan, yang dimanifestasikan di dalam kognisinya, emosi atau perasaannya, serta di dalam perilakunya. Adapun sikap ilmiah yang perlu dimiliki--seperti yang dikemukakan Prof. Drs. Harsojo-- adalah (1) obyektivitas, (2) sikap serba relatif, (3) sikap skeptis, (4) kesabaran intelektual, (5) kesederhanaan, dan (6) sikap tidak memihak kepada etik (Salam, 1995:38).

Sedang Archie J. Bahm, mengungkapkan bahwa sikap ilmiah dilandasi dilandasi dengan karaktristik, yaitu: (1) keingintahuan, (2) spekulatif, (3) obyektif, (4) membuka cakrawala pandang, (5)mencurahkan kepada penilaian, dan (6) bersikap tentatif (sementara). (Bahm, 1980:2-3).

Kalau kita cermati bahwa sikap ilmiah ini, akan mempengaruhi suasana keilmiahan suatu kebenaran, namun sikap ini harus dibarengi oleh pertumbuhan masyarakat ilmiah, sehingga teori-teori baru bisa diterima dan dapat bermanfaat bagi masyarakat.

Oleh sebab itulah, dalam perkembangan filsafat ilmu juga mengarahkan pada strategi pengembangan ilmu, yang menyangkut etik dan heuristik, bahkakn sampai pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja nilai guna suatuilmu, tetapi juga muatan makna bagi kehidupan masyarakat (Wibisono, 1982:13).

Berbicara tentang strategi pengembangan ilmu ini Koento Wibisono (1982:13) mengelompokkan menjadi 3 macam pendapat: pertama, pendapat yang menyatakan bahwa ilmu berkembang dalam otonomi dan tetutup, dalam rti pengaruh konteks dibatasi atau bahkan disingkirkan. “Science for sake of science only” merupakan semboyan yang didengungkan. Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa ilmu lebur dalam konteks, tidak hanya memberikan refleksi, bahkan juga memberi justifikasi. Dengan ini ilmu cendrung memasuki kawasan untuk menjadikan dirinya sebagai ideologi. Ketiga, pendapat ynag menyatakan bahwa ilmu dan konteks saling meresapi dan saling memberi pengaruh untuk menjaga agar dirinya beserta temuan-temuannya tidak terjebak dalam kemiskinan relevansidan aktualitasnya. “Science for sake of human progress” adalah pendiriannya.

Dari ketiga pendapat ini rupanya pendapat yang ketiga yang mampu membangkitkan gairah keilmuan, karena strategi yang digunakan punya relevansi untuk memperkaya muatan-muatan keilmuana sesuai dengan progresivitas dan aktualitas yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Sehingga dari sini tak dapat diletakkan urgensi untuk mengembangkan ilmu yang tidak sekedar teori-teori belaka, tapi juga realisasi teori dalam praktek dan hasil-hasil yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Artinya di sini bahwa ada nilai-nilai yang menjadi muatan suatu ilmu bisa berkembang dan bermanfaat.

Sebagaimana lazimnya, ilmu merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka oleh masyarakat. Meskipun yang disebut pengetahuan ilmiah sesuai dengan keharusan adanya keraguan didalamnya kemudian dipertanyakan kembali. Demikian pula sikap masyarakat atas pengetahuan itu, untuk menerima atau menolaknya. Sekiranya hasil ilmu itu memenuhi syarat-syarat keilmuan maka dia diterima sebagai bagian kumpulan ilmu pengetahuan dan digunakan oleh masyarakat.

Jelaslah kiranya bahwa seorang ilmuan mempunyai tanggung jawab sosial, bukan saja karena ia adalah warga mayarakat yangkepentingannya terlibat sefcara langsung di masyarakat, namun lebih penting adalah karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Fungsinya selaku ilmuan secara tidak pernah mandeg pada penelaahan dan keilmuan secara individual, namun juga ikut bertanggungjawab agar produk keilmuan sampai dan dapat dimanfatkan olah masyarakat (Jujun, 1990:237).

Dalam masyarakat yang agak statis, nilai tercakup dalam adat kebiasaan dan tradisi. Disini tugas dan tanggung jawab sosial keilmuan harus mampu mengisi dan mewarnai kondisi masyarakat tersebut tanpa harus merubah esensi budayanya. Artinya semata-mata demi untuk kemajuan masyarakat tersebut, sehingga fungsi ilmu itu dapat diterima dan dilaksankan oleh semua anggota masyarakat sedemikian rupa sehingga tercerahkan dan akhirnya tersadarkan. Hal ini akan membentuk idelisme progresif pada pola pikir masyarakat.

Untuk menjembatani hal inii, perlunya sikap sosial seorang ilmuan, yakni konsistensi dengan proses penelaahan keilmuan yang dilakukan (Jujun, 1990:239), mampu menyampaikan dengan bahasa yang dimengerti masyarakat danmampu memberikan perspektif secara benar suatu masalah.

Demikian juga seorang ilmuan tentunya harus konsekuaen dengan falsafah hidupnya, baik secara intelektual maupun secara moral dan mampu membawa masyarakat menuju progesivitas yang tinggi, maka ilmuan harus menjadi suri tauladan dalam segala tindak tanduknya di tengah-tengah masyarakat.



DAFTAR PUSTAKA
Bahm, Archie J., What is “Science”?, World Books, Albuqerque, New Meexico, 1980.
Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, Jakarta: Bumi Aksara, cet. iii, 1995.
Jujun S. Sumiasumantri (ed), Ilmu dalam Prespektif, Jakarta: Gramedia, cet. 6, 1985.
----------, Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, Jakarata: Pustaka Sinar harapan, 1990.
Kneller, George F., Movement of Thought in Modern Education, New York: John Witey and Sound, 1984
Koento Wibisono, Arti Perkemabangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte, Yogyakarta: Gadjah Mada Univercity Press, cet. ke 2, 1982.
-----------, Hubungan Filsafat, Ilmu Pengetahuan dan Budaya, makalah Pengantar kuliah Filsafat Ilmu, (t.t., t.tp.).

Senin, Maret 03, 2008

KEBENARAN ILMIAH DAN KONSEP FILSAFAT PENDIDIKAN

KEBENARAN ILMIAH DAN KONSEP FILSAFAT PENDIDIKAN
Imam Mawardi

Dalam filsafat pendidikan, kebenaran ilmiah sebagai entitas struktur komponen ilmu pendidikan, dimana hakekat pelaksanaan pendidikan yang bersangkut paut dengan tujuan, latar belakang, cara dan hasilnya akan dipraktekan berdasarkan analisi kritis terhadap struktur dan kegunaaannya.

Aliran-aliran yang ada menempatkan manusia sebagai bagian dari kebudayaan. Sisi kebenarannya dari konsep filsafat dari masing-masing aliran terletak pada konsep dasar orientasi yang membawa dampak pada penerjemahan kebijakan dalam dunia pendidikan. Adapun aliran-aliran tersebut mengelompok sebagai aliran progresivisme, esensialisme, parenialisme dan rekonstruksionisme.

Progresivisme

Progravisme mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi dan mengatasi maslah-masalah yang bersifat menekan atau mengancam adanya manusia itu sendiri (Barnadib, 1994:28). Oleh karena kemajuan atau progres ini menjadi suatu statemen progrevisme, maka beberapa ilmu pengetahuan yang mampu menumbuhkan kemajuan dipandang merupakan bagian utama dari kebudayaan yang meliputi ilmu-ilmu hayat, antropologi, psikologi dan ilmu alam.

Hal ini karena progrevisme memandang manusia sebagai makhluk yang bebas, aktif, dinamis, dan kreatif. Kedudukan manusia penting dalam perkembangan kebudayaan dan peradaban. Dengan kemampuan fikiran yang diberikan Tuhan, manusia mampu mampu menciptakan berbagai ilmu pengetahuan, kesenian dan sarana untuk menghasilkan perubahan dan perkembangan (progress), artinya dalam meninjau kebudayaan dan pendidikan, progrevisme mengutamakan tinjauan ke depan dari pada masa lalu (Barnadib, 1996:62).

Untuk menjelaskan pandangan progravisme, misalkan kita ambil contoh dari antropologi, disini dapat dipelajari bahwa manusia membentuk masyarakat, mengembangkan kebudayaan, dan telah berhasil untuk terus membina kehidupan dan persdaban dan selalu diupayakan untuk mendapatkan kemajuan.

Dari psikologi dapat dipelajari bahwa manusia mempunyai akal budi. Dengan kemampuan berfikirnya dan pengembangan imajinasinya ternyata manusia mampu kreatif untuk meringankan hidupnya dengan ciptaannya. Semuanya itu digunakan untuk meraih kemajuan dalam kehidupannya (Barnadib, 1996:19).

Kebenaran menurut pandangan progrevisme adalah sesuatu yang rasional yang dapat membawa kepada kemajuan atau progress. Sefhubungan dengan ini ide-ide, teori-teori atau cita-cita tidaklah cukup hanya diakui sebagai hal-hal yang ada dan mengandung nilai kebenaran, tetapi yang ada dan benar secara ilmiah haruslah dicari artinya dan diimplikasikan bagi suatu kemajuan perkembangan ilmu.

Untuk itulah progrevisme mengadakan perbedaan anatara pengetahuan dan kebenaran. Pengetahuan adalah kumpulan kesan-kesan dan penerangan-penerangan yang terhimpun dari pengalaman yang siap untuk digunakan. Kebenaran adalah hasil tertentu dari usaha untuk mengetahui, memiliki dan mengerahkan beberapa segmen pengetahuan agar dapat menimbulkan petunjuk atau penyelesaian pada situasi tertentu, yang mungkin keadaannya kacau Barnadib, 1996:31).

Esensialisme

Esensialisme dalam memandang kebudayaan dan pendidikan berbeda dengan progrevisme, kalau progrevisme menganggap pandangan bahwa banyak hal itu mempunyai sifat yang serba fleksibel dan nilai-nilai itu berubah dan berkembang, esensialisme menganggap bahwa dasar pijak semacam ini kurang tepat karena fleksibilitas dalam segala bentuk dapat menjadi sumber timbulnya pandangan yang berubah-ubah, pelaksanaan yang kurang stabil dan tidak menentu (Barnadib, 1996:38).

Di samping itu esensialisme memandang manusia sebagai mahluk budaya, artinya keberadaan manusia mempunyai peranan sebagai penghayat, pelaksana, dan sebagai pengembang kebudayaan. Dalam kehidupannya manusia dilingkupi oleh nilai dan norma budaya, agar kehidupan manusia bermakna dan mantap perlu berlandaskan pada nilai dan norma budaya yang mantap, telah teruji oleh waktu.

Makna atau nilai kebenaran ilmiah yang dikemukakan aliran ini sebagaimana yang diungkapkan Richard Pratte (1977:139), adalah sikap konservatisme kefilsafatan, artinya bahwa kebenaran yang dilakukan manusia adalah relatif karena ketidaksempurnaan manusia,. Tapi setidaknya kebenaran yang dilakukan menurut teori ini adalah kemampuan manusia mengembangkan norma dan nilai yang mewarnai kebudayaan--termasuk pendidikan--, sehingga tidak dengan mudah meninggalkan prestasi serta produknya (kebudayaan, norma, dan nilai termasuk sebagian dari produk dan prestasi itu).

Ini menunjukkan bahwa anggapan mengenai adanya kenyataan itu tidak dapat hanya sebagai hasil tinjauan yang menyebelah saja. Berarti bukan hanya dari subyek atau obyek semata-mata, melainkan pertemuan antara keduannya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa realita adalah sama dengan substansi gagasan dan ide-ide. Dibalik dunia fenomenal ini ada jiwa yang tidak terbatas, yaitu Tuhan, yang merupakan pencipta adanya kosmos. Dengan menguji dan menyelidiki ide-ide serta gagasan-gagasannya, manusia akan dapat mencapai kebenaran, yang sumbernya adalah Tuhan sendiri (Butler, 1951:161).

Disinilah fungsi pendidikan dalam berbagi bentuk dan manifestasinya yang senantiasa berkembang an berubah, merupakan refleksi dari kebudayaan mengantarkan manusia ke dalam fikiran dan alam modern yang ditandai perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi.

Perenialisme

Perenialisme dalam memandang keadaan sekarang adalah sebagai zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kekacauan, kebingungan dan kesimpangsiuran. Berhubung dengan itu dinilai sebagai zaman yang membutuhkan usaha untuk mengamankan lapangan moral, intelektual dan lingkungan sosial kultural yang lain. Ibarat kapal yang akan berlayar, zaman memerlukan pangkalan dan arah tujuan yang jelas. Perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan pangkalan yang demikian ini merupakan tugas yang pertama-tama dari filsafat dan filsafat pendidikan (Barnadib, 1996:59).

Sesuai dengan asal katanya, yaitu perenial: hal-hal yang ada sepanjang masa, perenialisme mengikuti tradisi perkembangan intelektuali akademik yang ada pada dua zaman, Yunani dan abad pertengahan. hal-hal yang ada sepanjang masa inilah yang perlu digunakan untuk menatap kehidupan sekarang yang penuh dengan liku-liku (Pratte,1977:166). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perenialisme bersifat regresif, artinya kembali kepada kebenaran yang sesungguhnya sebagaimana telah diletakkkan dasarnya oleh para filosof zaman lampau.

Motif dengan mengambil jalan regresif bukan hanya nostalgia atau rindu akan nilai-nilai lama untuk diingat atau dipuja, malainkan berpendapat bahwa nilai-nilai tersebut mempunyai kedudukan vital bagi pembangunan kebudayaan abad ini (Barnadib, 1996:59).

Dalam memandang pengetahuan, perenialisme berpendapat bahwa segala sesuatu yang dapat diketahui dan merupakan kenyataan adalah apa yang terlindung pada kepercayaan. Kebenaran adalah sesuatu yang menunjukkan kesesuaian antara pikir dan benda-benda (Barnadib, 1996:67). Maksudnya adalah hal-hal yang adanya bersendikan atas prinsip-prinsip keabadian. Hal ini berarti bahwa perhatian mengenai kebenaran adalah perhatian mengenai esensi dari sesuatu, artinya telah memenuhi syarat-syarat logis dan memiliki evidensi diri bagi pengertian yang dirumuskan.

Rekonstruksionisme

Aliran ini memandang manusia sebagai makhluk sosial. Manusia tumbuh dan berkembang dalam keterkaitannya dengan proses sosial dan sejarah dari pada masyarakat. Pendidikan mempunyai peranan untuk menadnakan pembaharuan dan pembangunan masyarakat (Barnadib, 1996:63).

Perkembangan ilmu dan tehnologi tidak memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi masyarakat, namun juga membawa dampak negatif. Masyarakat yang hidup damai berangsur-angsur diganti oleh masyarakat yang coraknya tidak menentu, tiada kemantapan, dan yang lebih penting dari itu lepasnya individu dalamketerkaitannya dengan masyarakat serta adanya keterasingan, hal ini menciptakan budaay hegemoni sebagai ideologi.

George F. Kneller (1984:195) membuat ikhtisar pandangan Michael W. Apple tentang ideologi yang dimaksud ada 3 unsur, (1) pandangan bahwa kemajuan itu tergantung dari sains dan industri, (2) suatu kepercayaan dalam masyarakat bahwa agar orang mampu menyumbangkan jasanya dalam masyarakat kompetitif, (3) kepercayaan bahwa hidup yang memadai sama dengan menghasilkan dan mengkonsumsikan barang dan jasa bagi masyarakat . Sehingga menurut Apple ketiganya tercermin dalam kurikulum sekolah. Agar keadaan masyarakat dapat diperbaiki, pendidikan menjadi wahana penting untuk rekonstruksi.

Hal tersebut yang menyebabkan tumbuhnya pikiran kritis rekonstruksionisme yang terjadi dalam masyarakat, sehingga dapat dikatakan rekonstruksi sebagai tujuan mencari titik kebenaran melalui lembaga pendidikan.


DAFTAR PUSTAKA
Bahm, Archie J., What is “Science”?, World Books, Albuqerque, New Meexico, 1980.
Butler, J. Donald, Four Philosophies and Their Practice in Education and Religion, New York: Horper and Brothers, 1951.
Imam Barnadib, Dasar-Dasar Kependidikan: Memahami makna dan Perspektif Beberapa Teori Pendidikan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996.
-------, Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode, Yogyakarta: Andi Ofset, 1994.
Imam Barnadib dan Sutari Imam Barnadib, Beberapa Aspek Substansial Ilmu Pendidikan, Yogyakarta: Andi, 1998.
Jujun S. Sumiasumantri (ed), Ilmu dalam Prespektif, Jakarta: Gramedia, cet. 6, 1985.
----------, Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, Jakarata: Pustaka Sinar harapan, 1990.
Kneller, George F., Movement of Thought in Modern Education, New York: John Witey and Sound, 1984
Richard Pratte, Conteporary Theories of Education, Scranton, N. J: Intext International Publisher, 1977.