Senyuman kehidupan

Senin, Mei 18, 2009

Merajut Benang yang Tersisa

Merajut Benang yang Tersisa
Catatan untuk ISTRIKU

By Abihan (Imam Mawardi)

Setiap kata … yang ingin abi tuturkan, pasti umi memahaminya. Sebelum fajar sisa kantuk tak menyisakan angan … ataukah harapan yang belum jua datang. Ini bukan cita-cita sebagaimana idealisme yang mulai kita bangun semenjak pernikahan. Meskipun banyak liku-liku hidup yang mengajak pada sikap pragmatisme, mestikah kita larut dalam arus yang kadang kita memungkiri hati nurani. Jangan katakan kita miskin kalau ukurannya hanyalah material belaka, karena sesungguhnya apa yang bisa kita perbuat dengan keikhlasan sesungguhnya disitu letak kekayaan kita.

Hari-hari yang selalu berganti dengan suasana yang sama, terasa membosankan, apalagi tanpa kehadiran abi seperti dulu untuk berbagi asa, memecahkan persoalan, menanggung beban bersama dan merasakan nikmatnya makna kebersamaan itu sendiri, meskipun tidak punya apa-apa. Umi pasti memahaminya, Abi tidak selamanya di sini… tugas belajar pasti berakhir dan kembali merajut hari-hari dengan kebersamaan kembali.
Persoalan yang utama, bukan masalah komunikasi… , bukankah sekarang kita selalu membangunnya dengan selalu menelpon—menanyakan kabar, bahkan kita membangun komunikasi hati, komunikasi do’a di setiap akhir malam dan setiap waktu dalam lapas ingatan kita untuk menyatukan asa. Tetapi, masalah keuangan… sebuah masalah yang sebenarnya bukan masalah kita saja, masalah banyak orang. Gaji abi yang umi terima tiap bulan, langsung habis bukan untuk konsumtif tapi untuk cicilan hutang rumah. Ini baru namanya kehidupan umi, harus berfikir menemukan cara yang terbaiik bagaimana mengelola rizki dan kehidupan secara bersama-sama.

“Modal kepercayaan”, bukankah ini yang selalu umi lakukan. Bersyukurlah karena kita masih dipercaya untuk bisa hutang. Bahkan umi dipercaya menjualkan barang-barang tetangga dengan bagi hasil hanya dengan modal kelihaian umi menawarkan barang, tentunya di sini tidak perlu malu, meskipun kadang hanyalah menjualkan tempe goreng. Setiap potensi harus disyukuri kemudian baru berfikir bagaimana mengembangkannya. Kita merasa malu karena kita berfikir tentang malu, padahal apa yang kita lakukan adalah sebuah kebenaran bukan sebuah penipuan. Disinilah harga diri akan diuji … sampai terasa nilai keberkahan merasuk di setiap sisi kehidupan.

Sudahlah… masa depan penuh keberkahan pasti kita raih, tanpa harus bertanya “kapan”. Dengan keihklasan, kesabaran, keuletan dan do’a, kita yakin Allah tidak akan membiarkan hambanya yang berusaha dengan kesusahan.

Bandung, 18 Mei 2009

Tidak ada komentar: