Senyuman kehidupan

Senin, Juni 16, 2008

Mari Belajar

Mari Belajar
Oleh Imam Mawardi Rz

…yang seharusnya menjadi perhatian kita adalah bagaimana belajar menjadi bagian dari hidup. Sejak kecil sudah harus diperhatikan pola belajar dalam keluarga, tentunya yang menarik, menyenangkan dan ada unsure bermain di dalamnya. Karena dunia anak sendiri adalah dunia permainan. Sebagaimana konsep belajar di usia dini, bermain sambil belajar dan belajar sambil bermain, begitu pula sebaliknya. Belajar tidak harus dari buku, justru pada masa kanak-kanak belajar yang sesungguhnya adalah interaksi fisik, pengembangan motorik halus dan motorik kasar yang dipadukan dengan pola sikap guru, pembimbing, pamong dan atau orang tua yang mampu mentransfer nilai-nilai. Bukankah pribadi-pribadi “pendidik” merupakan kurikulum tersendiri yang porsinya hampir 80% akan dicerna anak didik. Oleh sebab itu peran pendidik di masa ini menjadi sangat penting. Akan di bawa kemana anak-anak?

Keluarga menjadi sekolah yang utama, dimana nilai-nilai ditransformasikan pertama kali dan sepanjang waktu. Marta Santos Pais dalam tulisannya mengenai Rights of Children and the Family mengungkapkan:
The Family is particularly well placed to be the first democratic reality the child experience—a reality shaped by the values of tolerance, understanding, mutual respect, and solidarity, which strengthens the child’s capacity for informed participation in the decisionmaking process.
(Keluarga seharusnya ditempatkan secara khusus sebagai realitas demokratis pertama yang dialami anak, yakni realitas yang di bangun dari nilai-nilai yang mencerminkan toleransi, pengertian, interaksi saling menghormati, dan solidaritas. Ini akan menguatkan kapasitas anak untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan.)

Belajar, menjadi penting. Keluarga saling belajar, lewat interaksi keseharian dari hal yang kecil, sampai membuat keputusan bersama. Tentunya semuanya dibingkai dengan aklak dan keimanan. Kalau orang tuanya jamaah sholat lima waktu di masjid, menjadi pembelajaran tersendiri bagi anak-anak. Orang tua mengaji Al-Qur’an, anak-anak akan mudah diarahkan untuk membaca Al-Qur’an. Menyuruh belajar anak-anak, orang tua juga harus belajar, bukan anak belajar tapi orang tua nonton sinetron. Hal yang demikian harus dibiasakan secara konsisten dan menjadi tanggung jawab bersama seisi keluarga.

Kalau kesadaran menjadi manusia belajar sebagai obsesi, barangkali inilah hidup yang sebenarnya. Dimulai sejak kecil dari tradisi keluarga, hidup akan mengalir. Dari pengalaman kecil yang gagal, sampai pengalaman yang menyentuh nurani. Bukankah tidak ada kegagalan dari hidup ini, justru karena kegagalan kita akan kuat, dan menemukan ide-ide kreatif serta tidak gampang terjebak dengan fenomena yang menyesatkan, kuncinya karena kita belajar.

Ta’alam fainnal ilmu zainun liahlihi, demikian yang tertulis dalam ta’limul mutalim, yang artinya belajarlah sesungguhnya ilmu menjadi perhisan bagi siapa saja yang mau belajar.

Tidak ada komentar: