Senyuman kehidupan

Kamis, Februari 14, 2008

BELAJAR DARI SENTUHAN MISTIS NYANYIAN ALAM

Belajar dari Sentuhan Mistis Nyanyian Alam
oleh Imam Mawardi El-razal
Hakekat belajar merupakan konsekwensi dari hidup. Manusia hidup harus dinamis, bergerak, punya harapan dan cita-cita. Sebaliknya manusia yang tidak ada dinamika, tidak ada perubahan, tidak bergerak, tidak punya harapan dan cita-cita bukanlah manusia itu hidup tetapi mati. Mati di sini bermacam makna, yang jelas arahnya adalah tidak kreatif di dalam memandang kehidupan.

Robert J. Lodje mengatakan, “Education is life, life is educatiom”, merupakan gambaran adanya kesamaan antara pendidikan dan proses hidup. Pendidikan sebagai suatu proses untuk membimbing, membina dan mengarahkan manusia pada tujuan kehidupan, sedang kehidupan sendiri sebagai suatu proses perkembangan dan lahan mencari hakekat kebahagiaan. Keduanya bermuara pada ujung makna kebahagiaan. Di sinilah belajar menjadi kunci bagaimanan manusia hidup, bagaimana menjadi berarti, bagaimana menjadi berguna, dan kemana tujuan hidup akan bermuara? Jawaban yang tepat tentunya adalah kebahagiaan. Ingat do’a sapu jagat Rabbana Atina fiddunya hasanah wafil akhirati hasanah waqina adzabannar.

Kunci kebahagiaan terletak pada prosesnya bukan pada hasilnya, proses yang terbentuk secara alamiah menjadikan manusia tahan banting dan ulet menghadapi tantangan kehidupan. Seperti permata yang asli hanya bisa terbentuk melalui proses alamiah yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, tetapi melalui proses tekanan dan panas yang terus menerus. Permata semula hanyalah sebongkah batu karbonit hitam yang terbenam dalam tanah. Pengaruh tekanan dan panas dari aktivitas vulkanik kemudian menjelmakan kehitamannya menjadi permata nan indah bercahaya. Bila terinjak sepatu kaca, bukan permatanya yang hancur tetapi justru sepatunya yang hancur.

Manusia bukanlah permata, tetapi sebagai gambaran untuk mendapatkan hasil, manusia harus berproses. Ingat! Hidup adalah proses bukanlah hasil, selama kita masih hidup kita tentunya akan berproses terus dengan tahapan-tahapan keberhasilan sesuai logika kita. Karena sesungguhnya secara hakiki keberhasilan hanya bisa diukur ketika manusia sudah meninggalkan dunia fana ini. Dan yang bisa menilai adalah orang lain diluar diri kita, karena selagi kita masih hidup kita tidak tahu apa yang terjadi esok, seperti cakra manggilingan kadang di atas kadang di bawah, sekarang sukses tapi tidak tahu apa tetap sukses terus atau pailit.
Oleh sebab itu, titik kesadaran manusia untuk mampu memahami dirinya dan berjarak dengan dirinya sendiri, sebagaimana pepatah Arab dari ungkapan Aristoteles ”man arafa nafsahu faqad arofa rabbahu” siapa yang mengenal hakekat diri kemanusiaanya maka dia akan menemukan hakekat Tuhannya. Di sini setiap manusia sesungguhnya dapat menemukan bahwa dihadapan sang khaliq Allah swt manusia hanya sebongkah kelegaman, lebih hina dari karbonit hitam, penuh kebodohan dan kekhilafan. Untuk menjadi permata nan mulai dihadapan Allah swt, manusia harus bergerak seirama dengan dzikirnya mengasah hati yang legam secara terus menerus dengan kembali pada kesucian fitrah membangun peradaban semesta, dengan syukur, ridha dan optimis menggapai tangga-tangga kebahagiaan.

Hal ini mengindikasikan suatu kesadaran spiritual manusia, bahwa belajar sebagai suatu proses hidup sebagai suatu keharusan tak terikat ruang dan waktu, dimanapun, kapanpun selagi nafas masih berhembus, jantung masih berdetak dan ruh masih melekat di jasad manusia. Belajar di sini bermakna menemukan hakekat penciptaan diri untuk kemudian menjadi berarti. Wallahu a’lam.
Mawardy el-Razal

Tidak ada komentar: