Senyuman kehidupan

Sabtu, Februari 16, 2008

MENDIDIK ESQ 2: POLA ASUH ALTERNATIF TERHADAP ANAK

MENDIDIK ESQ 2: POLA ASUH ALTERNATIF TERHADAP ANAK
Imam Mawardi

Konsep pendidikan dalam pengembangan ESQ, tidak lepas dari peran pendidikan itu sendiri dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang unggul dalam ilmu, santun dalam pergaulan, tanggap, kreatif, arif dan bijaksana dalam mensikapi persoalan-persoalan yang muncul belakangan. Dengan kata lain, menghasilkan manusia yang utuh, yaitu memiliki kematangan intelektual, sosial, emosi dan spiritual. Hal ini selaras dengan UU Nomor 20 Tahun 2003, tentang fungsi dan tujuan pendidikan:”Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Oleh sebab itu, perlu diperhatikan bagaimana mengupayakan pola asuh dan strategi pendidikan yang tepat bagi anak didik.
Pola asuh --sebagaimana yang dikatakan Asmadi Alsa (2002)-- adalah perlakuan yang diberikan kepada anak dalam rangka memberikan kasih sayang, perlindungan, bimbingan, pengarahan, dan pendidikan dalam kehidupan sehari-hari serta bagaimana sikap orang tua dalam hubungan dengan anak-anak. Ada 3 macam pola asuh yang umum dikenal dalam masyarakat, yaitu pola asuh permisif, pola asuh otoriter dan pola asuh demokratis.
Pola asuh permisif adalah pola asuh dimana tidak ada control dari orang tua terhadap prilaku anak, sehingga anak memiliki kebebasan yang longgar dalam memilih dan menjalankan aktivitasnya. Sebaliknya pola asuh otoriter, orang tua melakukan kontrol ketat terhadap perilaku anak dengan menentukan seluruh kebijaksanaan, banyak memberi perintah, anak tidak boleh berpendapat dan memberikan kritik, anak harus mengikuti pendapat dan keinginan orang tua. Jadi kekuasaan mengatur prilaku anak sepenuhnya terletak pada orang tua.
Pola asuh demokratis adalah pola asuh dimana orang tua melibatkan anak dan anggota keluarga dalam pengambilan keputusan tentang aktivitas yang akan dilakukan anak, memberikan bimbingan dan pengarahan pada anak untuk mencapai tujuan. Anak boleh mengemukakan pendapat, berdiskusi dengan orang tua, menentukan dan menagambil keputusan bagi aktivitasnya, akan tetapi orang tua tetap memberikan kontrol atas prilaku anak, bahkan anak-anak perlu mendapat persetujuan dari orang tua. Pola ini menghasilkan suasana sehat, membentuk rasa aman anggota keluarga, dan rasa ikut berpartisipasi dalam kegiatan keluarga.
Dari ketiga pola asuh tersebut dalam menumbuhkan kepribadian anak yang cerdas secara emosional dan spiritual, orang tua yang bijaksana akan menerapkan pola asuh yang sama untuk semua situasi, akan tetapi disesuaikan deangan karakteristik atau tahap perkembangan anak dan untuk tujuan apa pola pengasuhan diterapkan. Misalnya dalam menumbuhkembangkan kedisiplinan atau akhlak mulia pada anak sebaiknya menggunakan pendekatan yang berbeda dengan mengembangkan kreativitas.
Dalam proses pengembangan ESQ anak, ada 4 alternatif pola asuh yang tepat yang sesuai dengan tingkat kematangan anak:
1. Pola Asuh Telling, yaitu pola asuh yang cenderung memberi arahan pada anak. Pola ini lebih cocok diterapkan pada anak-anak yang masih kecil atau tingkat kematangannya masih rendah.
2. Pola Asuh Selling, yaitu pola asuh yang masih banyak memberi arahan, namun memberi kesempatan pada anak-anak untuk mengemukakan ide-idenya. Cocok untuk anak-anak yang kedewasaannya sudah agak meningkat.
3. Pola Asuh Participating, yaitu pola asuh yang tidak terlalu banyak pengarahan atau lebih memberi kesempatan untuk berdialog. Cocok untuk anak-anak yang tingkat kedewasaannya lebih meningkat lagi.
4. Pola Asuh Delegating, yaitu pola asuh yang lebih banyak mendelegasikan karena tingkat kedewasaan anak sudah cukup mapan.
Untuk mengembangkan kecerdasan emosional, tidak bisa dipisahkan dengan perkembangan emosi sehat sejak dini. Pola asuh orang tua sangat berperan untuk meningkatkan kecerdasan emosional anak, dengan demikian agar anak-anak kelak mampu mengendalikan emosinya dengan baik, orang tua harus memberi contoh bagaimana mengendalikan emosi dengan baik.
Beberapa alternatif mengembangkan emosi yang sehat pada anak sebagaimana yang ditawarkan Wimbarti (2002) antara lain:
1. Keluarga membina keakraban. Dalam dunia yang semakian sibuk dimana ayah dan ibu bekerja, diperlukan super parents, yaitu orang tua yang dalam kesibukannya tetap bisa berbagi waktu dengan anak. Adanya teknologi tinggi, mis telpon rumah, HP, dan internet dapat membantu keakraban, hal ini dapat mengurangi kesepihan dan kesunyian yang dirasakan anak.
2. Buat seimbang kegiatan kognitif, afektif dan aktivitas tubuh.
3. Revitalisasi keanggunan tatakrama lokal. Kehalusan budi pekerti serta tatakrama yang merupakan unsur prilaku prososial umumnya bertolak belakang dengan prilaku kekerasan, oleh karena itu bila individu diperkuat perkembangan tatakrama dan budi pekertinya maka prilaku ini tidak kompatibel dengan prilaku kekerasan.
4. Bagi anak-anak jawa, meggunakan bahasa jawa kromo inggil menuntut mereka untuk menyesuaikan sikap batin dan prilaku luarnya dengan bahasa halus tersebut, sehingga menggunakan bahas kromo inggil tetapi prilakunya berangasan akan tidak tepat.
5. Mengajak anak mengunjungi panti asuhan dan mendiskusikan hal tersebut akan mengasah kehalusan empati mereka.
6. Memelihara binatang piaraan di rumah dapat menjadi ajang diskusi perilaku dan “perasaan” binatang yang dapat diproyeksikan kepada perasaan manusia.
Oleh sebab itu orang tua hendaknya memperhatikan dengan sungguh-sungguh dengan mengajarkan dan melatihkan proses mempersepsi, menilai dan mengekspresikan emosi; mengajarakan dan melatihkan bagaimana proses fasilitasi emosi untuk berfikir; mengajarkan dan melatihkan proses penggunanaan pengetahuan emosi; mengajarkan dan melatihkan proses pengarahan reflektif emosi untuk mempromosikan pengembnagan emosi dan intelek anak.
Sedang untuk mengembangkan kecerdasan spiritual, setidaknya harus di mulai dari lingkungan keluarga, yakni dengan cara melatih anak-anak melakukan tugas hariannya dengan kesadaran dan dorongan motivasi dari dalam, anak diberi kasih sayang dan tidak perlu dimanjakan karena akan mengembangkan sifat mementingkan diri sendiri dan mengabaikan kebutuhan orang lain, kikir dan berpikiran sempit. Anak perlu belajar untuk bisa menerima dan mendengarkan dengan baik baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Orang tua harus menciptakan suasana lingkungan keluarga penuh kasih dan pengalaman saling memaafkan, dan banyak lagi yang intinya orang tua harus menjadi model bagi anak-anaknya untuk melayani, rela berkorban dan mengutamakan kepentingan bersama daripada kepentingan diri sendiri, karena yang memandu setiap perbuatan adalah apa yang bernilai bagi sesama.
Secara sederhana, upaya yang perlu jadi perhatian adalah dengan menghilangkan belenggu-belenggu yang menyebabkan hati nurani menjadi tidak cerah dan tentunya harus dimbangi dengan usaha penajaman yang terus menerus. Aliyah Rasyid Baswedan (2002) dalam hal ini memberikan alternatif peningkatan SQ anak, yaitu:
1. Pembiasaan. Misalnya membiasakan anak sejak kecil untuk bangun pagi, sholat bersama, membaca Al-Qur’an, berlaku sopan pada siapapun, gema wahyu ilahi di rumah, ramah terhadap orang minta-minta, tidak berbohong. Perlu pula dibiasakan untuk sadar bahwa kita harus mempertanggungjawabkan perbuatan kita di akhirat kelak. Kita juga harus membiasakan semua perbuatan karena Allah semata. Semua itu akan mencerahkan hati nurani, dan mengurangi mendung yang menutupi hati nurani, akan tertanam sifat-sifat yang mendekatkan diri pada Allah, yang akhirnya akan lebih meningkatkan kecerdasan spiritual anak.
2. Keteladanan. Keteladanan yang diberikan orang tua dan keluarga akan memberikan dampak yang baik pada diri pribadi anak. Bagaimana orang tua bertutur sapa dengan anggota keluarga yang lain, bagimana orang tua memanfaatkan waktu, bagaimana orang tua selau shalat tepat waktu dan berjamaah, sering membaca Al-Qur’an, bagaiman orang tua berpegang teguh pada prinsip-prinsip agama dan sebagainya. Tanpa keteladanan yang baik dari orang tua, pendidikan terhadap anak tidak akan berhasil dan nasehat-nasehat tidak akan membekas. Orang tua tidak dapat mengharapkan anak-anaknya berbuat keutamaan dan akhlak mulia kalau orang tua juga tidak berbuat demikian.
3. Penciptaan Lingkungan yang Kondusif. Lingkungan yang kondusif akan membantu tumbuh kembang anak yang sehat mental spiritualnya. Hendaknya lingkungan fisik dan mental anak diwarnai hal-hal yang religius, sehingga menimbulkan kesan yang mendalam, sebagai bekal kehidupannya nanti.
Dalam pengembangan ESQ ini, yang perlu menjadi catatan adalah pelaksanaanya hendaknya dimulai sejak anak dalam kandungan ibu. Perkembangan fisik yang begitu dasyat dalam kandungan sebenarnya juga mencerminkan perkembangan yang bersifat psikis dan rohani yang tak kalah dasyatnya pula. Karena itu setiap tindakan, prilaku dan cara berinteraksi dengan janin dan kehidupan ibu, memiliki pengaruh dan bahkan determinasi yang besar bagi masa depannya. Oleh sebab itu orang tua harus sadar betul untuk mempersiapakan pendidikan anak mulai ketika masih dalam kandungan sampai tumbuh kembang menjadi manusia unggul yang cerdas intelektualnya, emosionalnya dan spiritualnya.

Rujukan Membaca
Alsa, Asmadi, “Pola Penagsuhan untuk meningkatkan IQ anak” dalam Seminar Pola Asuh yang Mencerdaskan Anak, PSW Lembaga Penelitian UII, Yogyakarta, 20 April 2002
Baswedan, Aliyah Rasyid, “Pola Asuh yang Mengembangkan Kecerdasan Spiritual” dalam Seminar Pola Asuh yang Mencerdaskan Anak, PSW Lembaga Penelitian UII, Yogyakarta, 20 April 2002
Goleman, D, Emotional Intelligence: Why it Can Matter More than IQ. New york: Bantam, 1995
UU Nomor 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional.
Wimbarti, Supra. “Pola Asuh yang Mencerdaskan Anak: Dari Sisi EQ” dalam Seminar Pola Asuh yang Mencerdaskan Anak, PSW Lembaga Penelitian UII, Yogyakarta, 20 April 2002
Yusuf, Syamsu & A. Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan dan Konseling, Bandung: PPs UPI & Remaja Rosdakarya, 2005
Zohar, Danah dan Marshall, Ian, SQ, Spiritual Intellegece, The Ultimate Intellegence. London: Bloomsbry, 2000


BIODATA PENULIS
Imam Mawardi, M.Ag, Lahir di Lamongan pada tanggal 6 Januari 1973. Pendidikan terakhir diperoleh dari Program Pascasarjana (S.2) UIN Yogyakarta pada Prodi Pendidikan Islam Konsentrasi Pemikiran Pendidikan Islam. Pekerjaan sekarang sebagai dosen tetap di FAI Universitas Muhammadiyah Magelang.

Tidak ada komentar: