Senyuman kehidupan

Sabtu, Februari 16, 2008

MENDIDIK ESQ 1: POLA PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN ANAK

MENDIDIK ESQ 1: POLA PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN ANAK
Imam Mawardi*


Pendidikan ESQ merupakan paket pengembangan kepribadian anak. Kebutuhan pendidikan anak tidak sekedar menjejali dengan pengetahuan semata, tetapi juga aplikasi kemanfaatan bagi kehidupan yang bermakna dengan mengaktualisasikan potensi diri sebaik mungkin di tengah peradaban yang terus berkembang. Oleh sebab itu menjadi tanggung jawab pendidik (orang tua dan guru) mentransformasikan nilai-nilai kecerdasan emosional dan spiritual dengan pola asuh yang tepat sesuai tingkat kematangan anak dengan melalui pembiasaan, keteladanan dan penciptaan lingkungan yang kondusif sehingga menjadi manusia yang cerdas secara emosional (EQ) yaitu kecerdasan kalbu yang berkaitan dengan pengendalian nafsu-nafsu impulsif dan agresif dan cerdas spiritualnya (SQ), yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna dan nilai.
________________________________________
Dalam pendidikan, konsep pengembangan kepribadian anak merupakan tujuan utama di samping pengembangan intelektual. Tiga hal yang menjadi prioritas dalam kurikulum pendidikan, sebagaimana yang dirumuskan Benyamin S. Bloom adalah kognitif, afektif dan psikomotor yang dikemas secara apik dalam program life skill.
Oleh karena itu, secara makro pendidikan harus mewadahi kemampuan mendidik, membimbing dan melatih secara simultan, terpadu dan berkesinambungan dalam keseluruan pribadi anak didik. Apalagi tuntutan UNESCO sebagaimana yang direkomendasikannya bahwa pendidikan harus memenuhi 6 pilar pendidikan (Mastuhu, 2003: 132-135), yaitu:
1. Learning to Know, yang dimaksudkan di sini adalah bukan sebatas mengetahui dan memiliki materi informasi sebanyak-banyaknya, menyimpan dan mengingat selama-lamanya dan setepat-tepatnya sesuai dengan petunjuk yang diberikan, tetapi kemampuan memahami makna di balik materi ajar yang telah diterimanya, selain itu juga diharapkan tumbuh-kembangnya kemampuan menangkap peluang untuk melakukan pendekatan ilmiah yang yang tidak hanya melalui logika empirisme semata, tetapi juga secara transendental yaitu kemampuan mengaitkannya dengan nilai-nilai ilahiyah.
2. Learning to Do, merupakan konsekwensi logis dari Learning to Know, yaitu berbuat dengan berfikir atau learning by doing, yang dimaksudkan untuk menuntun anak mengenal hubungan antara berkarya dan beriman menurut keyakinan agamanya. Esensi bekerja bukan semata-mata mencari uang, tetapi adalah belajar.
3. Learning to Be, akan menuntun anak menjadi ilmuwan sehingga mampu menggali dan menentukan nilai kehidupannya sendiri –cultivating their own end—dalam hidup bermasyarakat sebagai hasil belajarnya.
4. Learning to Live Together, merupakan kelanjutan dari ketiga hal di atas untuk menuntun seseorang untuk hidup bermasyarakat dan menjadi “educated person” yang bermanfaat baik bagi diri dan masyarakatnya, maupun bagi seluruh umat manusia sebagai amalan agamanya.
5. Learn How to Learn, untuk menuntun anak agar mampu mengembangkan strategi dan kiat belajar yang lebih independent, kreatif, inovatif, efektif-efisien, dan penuh percaya diri melalui model belajar “menjadi”, anak didik sendiri yang mencari dan menemukan jawaban pertanyaan-pertanyaan yang dihadapinya, guru dituntut membimbing, memotivasi, memfasilitasi, memprovokasi dan mempersuasi.
6. Learning Throughout Life, menuntun dan memberi pencerahan kepada anak bahwa ilmu bukan buatan manusia, tetapi ilmu adalah hasil temuan atau hasil pencarian manusia. Karena ilmu adalah ilmu Tuhan yang tidak terbatas dan harus dicari, maka upaya mencarinya harus terus menerus tidak mengenal berhenti.
Dengan demikian, sebagaimana yang akan saya bahas dalam tulisan ini merupakan upaya mentransformasikan pilar-pilar pendidikan melalui pembinaan emosional-spiritual quotient (kecerdasan emosional dan spiritual) dalam rangka pengembangan kepribadian anak. Mengingat, kebutuhan pendidikan anak tidak sekedar menjejali dengan pengetahuan semata, tetapi juga aplikasi kemanfaatan bagi kehidupan yang bermakna dengan mengaktualisasikan potensi diri sebaik mungkin di tengah peradaban yang terus berkembang.
ESQ: Fenomena Pendidikan
Fenomena yang mengejutkan dunia pendidikan akhir-akhir ini adalah ditemukannya berbagai penemuan tentang potensi kecerdasan manusia. Pada abad ke-20, kecerdasan intelektual sempat menemukan momentumnya sebagai satu-satunya alat untuk mengukur kecerdasan manusia, sehingga banyak orang tua bangga dengan tes IQ anaknya yang tinggi sehingga bisa memilih sekolah mana saja yang dikehendaki. Namun pada pertengahan 1990-an,--sebagaimana yang ditulis Hasan (dalam Millah, 2004)-- Daniel Goleman menunjukkan penemuan barunya, bahwa kecerdasan manusia tidak hanya bisa diukur dengan IQ, ada jenis kecerdasan lain yang lebih penting dari IQ yaitu EQ (Emotional Quotient). Lebih jauh Golemen mengatakan bahwa EQ is more important than IQ for success in business and relationship. Maka runtuhlah kejayaan legenda IQ yang pernah berjaya dalam kurun waktu yang lama pada abad ke-20.
Di akhir abad ke-20 (1990-an) Danah Zohar dan Ian Marshall (2000:5) menemukan jenis kecerdasan lain, yaitu SQ (Spiritual Quatient). Bagi Zohar dan Marshall, mesin computer bisa memilki IQ yang tinggi, binatang bisa memilki EQ yang tinggi, tetapi keduanya tidak pernah memiliki ‘kegelisahan’ dan tidak pernah berpikir tentang dirinya, tentang orang lain dan tentang hidup secara umum. Mereka juga tidak pernah berfikir bagaimana merekayasa ataupun merubah keadaan yang ada pada dirinya. Padahal dengan berfikir menunjukkan esensi dari kemanusiaan manusia yang sebenarnya.
Untuk lebih memperjelas bahasan EQ dan SQ berikut ini akan diuraikan sekilas hal yang mendasari fenomena tersebut:
Kecerdasan Emosional (EQ)
Kecerdasan emosional (EQ) yaitu kecerdasan kalbu yang berkaitan dengan pengendalian nafsu-nafsu impulsif dan agresif. Kecerdasan ini mengarahkan manusia untuk bertindak secara hati-hati, waspada, tenang, sabar dan tabah ketika mendapat musibah, dan berterima kasih ketika mendapat kenikmatan. (Mujib & Jusuf Mudzakir, 2001: 328).
EQ yang dikembangkan Daniel Golemen ini, merujuk pada kemampuan seseorang mengendalikan diri ketika marah, takut, gembira, kasmaran, terkejut, terpesona, muak, tersinggung, dan berduka.(1995:6-7). Jadi pada hakekatnya adalah kemampuan meredam gejolak emosinya. Lebih lanjut dikatakan bahwa EQ sesungguhnya lebih merupakan ketrampilan (skill) daripada potensi seperti dalam konsep inteligensi pada umumnya, dan ketrampilan ini harus diajarkan oleh masyarakat tempat individu yang bersangkutan tumbuh dan berkembang. Ketrampilan tersebut yang terkait dengan EQ adalah: 1) memahami pengalaman emosi pribadi, 2) mengendalikan emosi, 3) memotivasi diri, 4) memahami emosi orang lain, dan 5) mengembangkan hubungan dengan orang lain.
Menurut penelitian Tomlinson-Keasey dan Little (dalam Satiadarma & Sadalis E. Waruwu, 2003:37) bahwa sukses seseorang dalam pendidikan dan pekerjaan sangat dipengaruhi oleh kecenderungan kepribadian yang bersangkutan, pendidikan orang tua dan variabel lingkungan rumah tangga. Pentingnya peran sosial, khususnya orang tua dan lingkungan sosial masyarakat, senantiasa perlu dijadikan pertimbangan dalam upaya meningkatkan ketrampilan seseorang untuk mengendalikan gejolak emosinya.
Secara rinci unsur-unsur dan indikator EQ dapat disimak pada tabel berikut:
UNSUR
INDIKATOR
Kesadaran Diri
a. mengenal dan merasakan emosi sendiri
b. Memahami faktor penyabab perasaan yang timbul
c. Mengenal pengaruh perasaan terhadap tindakan
Mengelola Emosi
a. Bersikap toleran terhadap frustasi
b. Mampu mengendalikan marah secara lebih baik
c. Dapat mengendalikan perilaku agrasif yang merusak diri sendiri dan orang lain
d. Memiliki perasaan yang positif tentang diri sendiri dan orang lain
e. Memiliki kemampuan untuk mengatasi stress
f. Dapat mengurangi perasaan kesepian dan cemas
Memanfaatkan Emosi secara Produktif
a. Memiliki rasa tanggung jawab
b. Mampu memusatkan perhatian pada tugas yang dikerjakan
c. Tidak bersikap implusive
Empati
a. mampu menerima sudut pandang orang lain
b. Memiliki kepekaan terhadap perasaan orang lain
c. Mampu mendengarkan orang lain
Membina Hubungan
a. Memahami pentingnya membina hubungan dengan orang lain
b. Dapat menyelesaikan konflik dengan orang lain
c. Memilliki kemampuan berkomunikasi dengan orang lain
d. Memiliki sikap tenggang rasa
e. Memiliki perhatian terhadap keopentingan orang lain
f. Dapat hidup selaras dengan kelompok
g. Bersikap senang berbagi rasa dan bekerjasama
h. Bersikap demokratis
Sumber: Yusuf, Syamsu & A. Juntika Nurihsan, 2005: 241.
Kecerdasan Spiritual(SQ)
Kecerdasan spiritual (SQ) adalah kecerdasan kalbu yang berhubungan dengan kualitas batin seseorang. Kecerdasan ini mengarahkan seseorang untuk berbuat lebih manusiawi, sehingga dapat menjangkau nilai-nilai luhur yang mungkin belum tersentuh oleh akal fikiran manusia. (Mujib & Jusuf Mudzakir, 2001: 328). Pendek kata kecerdasan spiritual merupakan kesadaran dalam diri yang membuat manusia menemukan dan mengembangkan bakat-bakat bawaan, intuisi, otoritas batin, kemampuan membedakan yang salah dan benar serta kebijaksanaan. (Satiadarma & Sadalis E. Waruwu, 2003:42).
Zohar dan Marshall (2000) menggambarkan orang yang memilki kecerdasan spiritual (SQ) sebagai orang yang mampu bersifat fleksibel, mampu beradaptasi secara spontan dan aktif, mempunyai kesadaran diri yang tinggi, mampu menghadapi dan memanfaatkan penderitaan, rasa sakit, memiliki visi dan prinsip nilai, mempunyai komitmen dan bertindak penuh tanggung jawab.
SQ bukanlah doktrin agama yang mengajak umat manusia untuk ‘cerdas’ dalam memilih atau memeluk salah satu agama yang dianggap benar. Kecerdasan spiritual lebih merupakan konsep yang berhubungan dengan bagaimana mengelola dan mendayagunakan makna-makna, nilai-nilai dan kualitas-kualitas kehidupan spiritualnya, sehingga memiliki hasrat untuk hidup bermakna (the will to meaning) yang memotivasi kehidupan manusia untuk senantiasa mencari makna hidup (the meaning of life) dan mendambahkan hidup bermakna (the meaningful life). Sehingga dapat difahami bahwa seseorang yang taat beragama belum tentu memiliki kecerdasan spiritual, acapkali mereka memiliki sikap fanatisme, eksklusivisme, dan intoleransi terhadap pemeluk agama lain, sehingga mengakibatkan permusuhan dan peperangan. Sebaliknya, bisa jadi seseorang yang humanis-non-agamis memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi, sehingga sikap hidupnya inklusif, setuju dalam perbedaan (agree in disagreement), dan penuh toleran. Hal ini mengindikasikan bahwa makna “spirituality” (keruhanian) dalam pengertian ini tidak selalu berarti agama atau bertuhan. (Mujib & Jusuf Mudzakir, 2001: 324-325).
Jadi dengan SQ manusia bisa mengobati penyakit dirinya sendiri, akibat krisis multidimensi seperti krisis eksistensi (existential crisis), krisis spiritual dan atau krisis makna. SQ adalah jenis kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya.
Oleh karena itu mengingat ESQ sangat dibutuhkan anak dalam menghadapi tantangan kehidupan sehari-hari, maka pendidikan ESQ haruslah dimulai sejak dini, agar anak bisa menjadi manusia yang bermanfaat dalam pengelolaan emosi-spiritualnya baik bagi diri sendiri, keluarga, mayarakat dan sesama makhluk Allah swt.
Pola asuh pembimbingan yang dilakukan baik oleh orang tua maupun guru harus dilakukan secara kontinyu dan berkesinambungan secara terus menerus dan membutuhkan kesabaran yang tinggi, karena sebuah proses pendidikan tidak seperti menanam jagung yang bisa dipanen dalam waktu sekitar 3 bulanan. Tujuan pendidikan adalah masa depan anak, sebagai generasi penerus peradaban yang memberi kemanfaatan kemanusiaan.

Rujukan Membaca
Goleman, D, Emotional Intelligence: Why it Can Matter More than IQ. New york: Bantam, 1995
Hasan, Abdul Wahid, “Belajar Strategi Pengembangan SQ Kepada Muhammad saw”, Millah Jurnal Studi Agama, Vol. III, No.2, Januari 2004
Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21 (The New Mind set of National Education in the 21st Century), Yogyakarta: Safira Insania Press bekerjasama dengan MSI-UII, 2003
Mujib, Abdul dan Yusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islami, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001
Satiadarma, Monty P & Fidelis E. Waruwu, Mendidik Kecerdasan: Pedoman bagi orang tua dan guru dalam mendidik anak cerdas, Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2003.
UU Nomor 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional.
Yusuf, Syamsu & A. Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan dan Konseling, Bandung: PPs UPI & Remaja Rosdakarya, 2005
Zohar, Danah dan Marshall, Ian, SQ, Spiritual Intellegece, The Ultimate Intellegence. London: Bloomsbry, 2000


BIODATA PENULIS
Imam Mawardi, M.Ag, Lahir di Lamongan pada tanggal 6 Januari 1973. Pendidikan terakhir diperoleh dari Program Pascasarjana (S.2) UIN Yogyakarta pada Prodi Pendidikan Islam Konsentrasi Pemikiran Pendidikan Islam. Pekerjaan sekarang sebagai dosen tetap di FAI Universitas Muhammadiyah Magelang.

* Staf Pengajar FAI Universitas Muhammadiyah Magelang

Tidak ada komentar: