Sejenak …..
Mawardy El Razal
Mawardy El Razal
Setiap peristiwa dari kehidupan ini, tidak lepas dari hukum alam. Apa yang kita perbuat selalu ada konsekwensinya, menyenangkan atau menggelisakan, membahagiakan atau menyedihkan. Dalam proses seperti itu, kepintaran, kepandaian, kematangan tidak akan bisa memberikan nuansa yang lebih berarti kecuali sekedar menghibur diri sejenak. Tetapi apa yang mampu bisa kita berikan pada kehidupan ini, senyum tulus dan keikhlasan yang menyertai pergaulan dan pemberian akan lebih berarti, meskipun kadang kita harus melepaskan suatu yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kehidupan kita sendiri. Artinya ikatan emosional apa pun yang mengikat tradisi hidup kita tidak harus menjadikan kita terbelenggu dengan logika yang seakan-akan pasti terwujud. Misalnya perasaan hati, bagaimana mekanisme mengelolanya? Padahal selalu saja perasaan memberikan pertimbangan bukan logika. Mungkin ini penempatan yang salah kaprah. Ingat kapan logika berperan, dan bagaimana perasaan digunakan.
Dialektika kehidupan kalau kita fahami lebih jauh akan mengantarkan pada pilihan-pilihan, meskipun kita tahu bahwa ideal pilihan hanya ada dalam hayalan, misalnya pekerjaan yang mapan, istri yang cantik, suami yang ganteng, anak yang baik-baik dan seabrek keinginan lainnya yang seakan menjadi hantu dalam pemikiran dan perasaan kita tumplek bleg di dalamnya. Tetapi sungguh, persoalannya tampaknya bukan pada kenyataan pilihan yang harus kita jalani. Dalam perspektif keimanan, proses hidup yang digariskan-Nya untuk siapapun maklukNya adalah sempurna, di sini kita harus yakin. Namun yang menjadi persoalannya adalah ketiadaan keberanian moral untuk percaya dan yakin, bahwa semua kenyataan yang menekan jiwa dan membelenggu fikiran itu, pada dasarnya adalah baik, sayang kita tidak pernah tahu kadar dan ukuran makna baik dalam perspektif Tuhan. Sang Penyayang tampaknya ingin menyatakan bahwa bergantung kepada siapa pun dan apa pun yang berujud dalam ciptaanNya, adalah kesia-siaan belaka. Bergantung kepada kekuatan diri, kemampuan fikiran dan kepekaan perasaan pun hanyalah kekonyolan dialektika yang ujungnya kesesatan yang nyata, kalau tanpa dimbangi keyakinan akan kasih-sayang kebenaran Tuhan dam mengimplementasikan bentuk ikhtiar, yang di dalamnya ada tautan usaha, keyakinan diri dan doa harapan dan kepasrahan setelah apa yang telah diusahakan.
Hanya Allah sumber ketentraman, meskipun Allah menawarkan pilihan-pilihan (faalhama fujuraha wa taqwaha) dalam kehidupan kita, ada tawazun keseimbangan, kebahagiaan dan kekuatan yang sebenarnya. Seperti yang dikatakan Sufi Abdul Jabar Al-Nifari, Tuhan seperti berkata, ”Ketika kau merasa paling lemah diantara yang lemah..., tidakkah kau merasakan Cinta-Ku?” Demikain ada kesejukan tidak hanya dalam pengampunan tetapi jua dalam penyertaan kasih sayang ridla-Nya, di setiap aktifitas keseharian kita. Ada harapan.... dalam cinta-Nya.Dalam proses hidup, harapan harus diukir dalam sebentuk cahaya doa, ingatlah ketika Allah Sang Maha Cinta berfirman, ”Inna ma’al usri yusra, Sesungguhnya setelah/ bersama kesuliatan pasti bersama /diikuti kemudahan”.
Lantas, demikianlah; kompleksitas kehidupan harus mampu kita jalani dan kita baca, bagaimana dalam tangisan ada senyuman, bagaimana cara kita bekerja, bagaimana coloteh bahasa anak-anak, harus menjadi warna yang mengiringi nilai syukur kita. InsyaAllah..... demikian ini menjadikan kita mapan hati, lepas dari ketergantungan siapa pun dan apa pun nakluk-Nya. Kecuali kepada-Nya kita sandarkan ketergantungan itu sendiri, yang selalu jaga menyertai kita dan tidak membiarkan kita dalam keterpurukan. Bahkan Dia memberi ujian sebagai bentuk kasih sayang-Nya tidak lepas dari kekuatan kemampuan hamba-Nya. Inna shalati wanusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil ’alamin Sesungguhnya shalatku, ibadah pejuanganku hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Sang Sandaran Hidup Tuhan penguasa semesta Alam. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar