Integrasi Dimensional Kecerdasan Qalbiah dalam Ranah Pendidikan
Oleh Imam Mawardi
Pendidikan sebagai suatu proses transformasi yang memanfatkan dan mengaktualisasikan potensi manusia secara maksimal dari sisi perkembangan jasmani, psikis, moral, sosial dan spiritual. Dalam upaya ini pendidikan sebagi proses humanisasi dan sosial mempertimbangkan norma-norma sosial, ekonomi dan filosofis yang berlaku di dalamnya dengan selalu mendasarkan pada pentingnya proses pertumbuhan dan perkembangan manusia. Dari sini manusia diarahkan, dibiasakan dan dididik untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi yang terintegrasi dengan apa yang dinamakan kepribadian. Sebagaimana yang telah diuraikan di muka, bahwa kesehatan mental dalam pengembangan kepribadian yang di dalamnya terpolah atas kalbu, akal dan nafsu, bila tetap dalam kendali kalbu maka masing-masing potensi akan memunculan sifat positif yang akan mendatangkan kecerdasan. Fungsi kalbu sendiri dalam hal ini selain berdaya emosi juga berdaya kognisi, bahkan dapat menjadi alat untuk menangkap hal-hal yang doktriner, memperoleh hidayah, ketakwaan, rahmah, serta mampu memikirkan dan merenungkan sesuatu .
Adapun kecerdasan yang dimotori kalbu ini untuk menggambarkan sejumlah kemampuan diri dan berbagai aktivitasnya dalam pengelolaan fungsi-fungsi kepribadian, adalah sebagai berikut:
Kecerdasan Intelektual (intuitif)Kecerdasan intelektual yaitu kecerdasan kalbu yang berkaitan dengan penerimaan dan pembenaran pengetahuan yang bersifat intuitif-ilahiah, seperti wahyu (untuk para rasul dan nabi) dan ilham atau firasat (untuk manusia biasa yang shalih). Adanya sifat ini sebagai pembeda dengan kecerdasan intelektual yang ditimbulkan oleh akal fikiran yang bersifat rasional insaniah. (Mujib & Jusuf Mudzakir, 2001:328). Secara umum kecerdasan intelektual adalah kecerdasan yang berhubungan dengan proses kognitif seperti berfikir, daya menghubungkan, dan menilai atau mempertimbangkan sesuatu. Atau kecerdasan yang berhubungan dengan strategi pemecahan masalah dengan menggunakan logika. (lihat Zohar & Ian Marshall, 2000: 3)
Kecerdasan EmosionalKecerdasan emosional yaitu kecerdasan kalbu yang berkaitan dengan pengendalian nafsu-nafsu impulsif dan agresif. Kecerdasan ini mengarahkan manusia untuk bertindak secara hati-hati, waspada, tenang, sabar dan tabah ketika mendapat musibah, dan berterima kasih ketika mendapat kenikmatan. (Mujib & Jusuf Mudzakir, 2001: 328).
Kecerdasan emosional yang dikembangkan Daniel Golemen ini, merujuk pada kemampuan seseorang mengendalikan diri ketika marah, takut, gembira, kasmaran, terkejut, terpesona, muak, tersinggung, dan berduka.(1995:6-7). Jadi pada hakekatnya adalah kemampuan meredam gejolak emosinya.
Menurut penelitian Tomlinson-Keasey dan Little (dalam Satiadarma & Sadalis E. Waruwu, 2003:37) bahwa sukses seseorang dalam pendidikan dan pekerjaan sangat dipengaruhi oleh kecenderungan kepribadian yang bersangkutan, pendidikan orang tua dan variabel lingkungan rumah tangga. Pola asuh orang tua sangat berperan untuk meningkatkan kecerdasan emosional anak, dengan demikian agar anak-anak kelak mampu mengendalikan emosinya dengan baik, orang tua harus memberi contoh bagaimana mengendalikan emosi dengan baik.
Secara rinci unsur-unsur dan indikator kecerdasan emosional dapat disimak pada tabel berikut:
Kesadaran Diri
a.mengenal dan merasakan emosi sendiri
b.Memahami faktor penyabab perasaan yang timbul
c.Mengenal pengaruh perasaan terhadap tindakan
Mengelola Emosi
a.Bersikap toleran terhadap frustasi
b.Mampu mengendalikan marah secara lebih baik
c.Dapat mengendalikan perilaku agrasif yang merusak diri sendiri dan orang lain
d.Memiliki perasaan yang positif tentang diri sendiri dan orang lain
e.Memiliki kemampuan untuk mengatasi stress
f.Dapat mengurangi perasaan kesepian dan cemas
Memanfaatkan Emosi secara Produktif
a.Memiliki rasa tanggung jawab
b.Mampu memusatkan perhatian pada tugas yang dikerjakan
c.Tidak bersikap implusive
Empati
a.mampu menerima sudut pandang orang lain
b.Memiliki kepekaan terhadap perasaan orang lain
c.Mampu mendengarkan orang lain
Membina Hubungan
a.Memahami pentingnya membina hubungan dengan orang lain
b.Dapat menyelesaikan konflik dengan orang lain
c.Memilliki kemampuan berkomunikasi dengan orang lain
d.Memiliki sikap tenggang rasa
e.Memiliki perhatian terhadap keopentingan orang lain
f.Dapat hidup selaras dengan kelompok
g.Bersikap senang berbagi rasa dan bekerjasama
h.Bersikap demokratis
Sumber: Landasan Bimbingan & Konseling, 2005: 241.
Kecerdasan Moral Kecerdasan moral yaitu kecerdasan kalbu yang berkaitan dengan hubungan kepada sesama manusia dan alam semesta. Kecerdasan ini mengarahkan seseorang untuk bertindak dengan baik, sehingga orang lain merasa tenang dan gembira kepadanya tanpa rasa sakit, iri hati, dengki, dendam dan angkuh. (Mujib & Jusuf Mudzakir, 2001: 328).
Secara umum kecerdasan moral berhubungan dengan kemampuan yang tumbuh perlahan-lahan untuk merenungkan mana yang benar dan mana yang salah, dengan menggunakan sumber emosional dan intelektual pikiran manusia (Coles, 2000:x,3). Indikator untuk mengukur tentang prilaku baik dan buruk dan kemampuan menginternalisasikan prilaku yang baik dalam kehidupan sehari-hari dalam konsep pendidikan Islam masuk muatan pelajaran akhlak.
Kecerdasan Spiritual Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan kalbu yang berhubungan dengan kualitas batin seseorang. Kecerdasan ini mengarahkan seseorang untuk berbuat lebih manusiawi, sehingga dapat menjangkau nilai-nilai luhur yang mungkin belum tersentuh oleh akal fikiran manusia. (Mujib & Jusuf Mudzakir, 2001: 328). Pendek kata kecerdasan spiritual merupakan kesadaran dalam diri yang membuat manusia menemukan dan mengembangkan bakat-bakat bawaan, intuisi, otoritas batin, kemampuan membedakan yang salah dan benar serta kebijaksanaan. (Satiadarma & Sadalis E. Waruwu, 2003:42).
Kecerdasan spiritual bukanlah doktrin agama yang mengajak umat manusia untuk ‘cerdas’ dalam memilih atau memeluk salah satu agama yang dianggap benar. Kecerdasan spiritual lebih merupakan konsep yang berhubungan dengan bagaimana mengelola dan mendayagunakan makna-makna, nilai-nilai dan kualitas-kualitas kehidupan spiritualnya, sehingga memiliki hasrat untuk hidup bermakna (the will to meaning) yang memotivasi kehidupan manusia untuk senantiasa mencari makna hidup (the meaning of life) dan mendambahkan hidup bermakna (the meaningful life). Sehingga dapat difahami bahwa seseorang yang taat beragama belum tentu memiliki kecerdasan spiritual, acapkali mereka memiliki sikap fanatisme, eksklusivisme, dan intoleransi terhadap pemeluk agama lain, sehingga mengakibatkan permusuhan dan peperangan. Sebaliknya, bisa jadi seseorang yang humanis-non-agamis memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi, sehingga sikap hidupnya inklusif, setuju dalam perbedaan (agree in disagreement), dan penuh toleran. Hal ini mengindikasikan bahwa makna “spirituality” (keruhanian) dalam pengertian ini tidak selalu berarti agama atau bertuhan. (Mujib & Jusuf Mudzakir, 2001: 324-325).
Untuk mengembangkan kecerdasan spiritual, setidaknya harus di mulai dari lingkungan keluarga, yakni dengan cara melatih anak-anak melakukan tugas hariannya dengan kesadaran dan dorongan motivasi dari dalam, anak diberi kasih sayang dan tidak perlu dimanjakan karena akan mengembangkan sifat mementingkan diri sendiri dan mengabaikan kebutuhan orang lain, kikir dan berpikiran sempit. Anak perlu belajar untuk bisa menerima dan mendengarkan dengan baik baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Orang tua harus menciptakan suasana lingkungan keluarga penuh kasih dan pengalaman saling memaafkan, dan banyak lagi yang intinya orang tua harus menjadi model bagi anak-anaknya untuk melayani, rela berkorban dan mengutamakan kepentingan bersama daripada kepentingan diri sendiri, karena yang memandu setiap perbuatan adalah apa yang bernilai bagi sesama.
Kecerdasan Beragama Kecerdasan beragama adalah kecerdasan kalbu yang berhubungan dengan kualitas beragama dan bertuhan. Kecerdasan ini mengarahkan pada seseorang untuk berperilaku secara benar, yang puncaknya menghasilkan ketakwaan secara mendalam, dengan dilandasi oleh enam kompetensi keimanan, lima kompetensi keislaman, dan multi kompetensi keihsanan. (Mujib & Jusuf Mudzakir, 2001: 328). Kecerdasan agama dalam hirarki ini tentunya merupakan tingkatan yang tertinggi daripada kecerdasan kalbu yang lain. Seseorang yang memiliki kecerdasan ini seharusnya telah melampaui kecerdasan intelektual, emosional, moral, dan spiritual, karena keempat kecerdasan ini merupakan bagian dari kecerdasan agama, sebagaimana firman Allah yang memerintahkan berislam secara kaffah “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”.( Al-Baqarah: 208)
Dalam konsep pendidikan Islam, kelima kecerdasan ini harus difahami dengan pendekatan sistem, artinya pada masing-masing kecerdasan merupakan bagian-bagian yang otonom tetapi saling terkait dan terpadu. Terminologi kecerdasan kalbu sebagaimana dijelaskan Allah swt.: ”Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka berakal atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesunggugnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang ada di dalam dada” (QS. Al-Hajj: 46).
Kecerdasan qalbiah akan terjadi ketika kalbu mampu berinterksi dengan akal, yaitu merupakan gabungan antara fakultas zikir (hati) dan fikir (rasio) yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang berpredikat ulil albab. Sebagaimana Firman Allah swt: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran; 190-191)
Dalam hubungannya dengan ranah pendidikan, konsep kesehatan mental dalam membentuk kepribadian muslim yang ideal, bukan dengan serta merta “menjadi”, tapi memerlukan proses transformasi melalui transfer pengetahuan (transfer of knowledge) dan transfer nilai-nilai (transfer of value) secara istiqamah (continue) ke dalam diri manusia. Pemahaman ini diperoleh berdasarkan ketiga aspek iman, islam dan ihsan yang sejajar dengan kognisi, afeksi dan amalan sebagai sisi aspek spiritual seorang muslim. Baharuddin (2004:272) menjelaskan, jika konsep iman, islam dan ihsan tersebut dipandang sebagai sisi positif, maka kufur adalah sisi negatifnya. Hal ini merupakan konsekuensi logis ungkapan Al-Qur’an yang menyatakan bahwa al-nafs memiliki potensi taqwa (baik, positif) dan sekaligus juga memiliki potensi fujur (buruk, negatif). “maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan (fujur) dan ketakwaannya (taqwa)” (QS. Asy Syam: 8).
Dengan demikian, pengembangan kepribadian muslim adalah sebuah keharusan fitrah kemanusiaan dalam mengeksplorasi segala potensi positif yang “dicelupkan” melalui penghayatan ajaran Islam dalam aktifitas di setiap sisi kehidupan, sehingga kehidupan yang diharapkan benar-benar menjadi dambaan yang bermakna. Untuk itulah seyogyanyalah nilai-nilai luhur menjadi penuntun untuk memahami makna hidup (al-hayah). Inna al-hayah hiya al-harakah wa al-harakah hiya al-barakah wa al-barakah hiya al-ni’mah wa al-ziyadah wa al-sa’adah. Hidup adalah bergerak (dinamis) yang dapat membawa berkah, dan hidup yang berkah adalah hidup yang membawa nikmat, nilai tambah dan kebahagiaan (di dunia dan akhirat). Semoga. Allahu a’lam bi shawab.