Kesehatan Mental dan Dinamika Kepribadian dalam Islam (bagian 1)
Oleh Imam Mawardi Rz
Istilah “kesehatan mental” diambil dari konsep mental hygiene. Kata mental diambil dari bahasa Yunani, pengertiannya sama dengan psyche dalam bahasa Latin yang artinya psikis, jiwa atau kejiwaan. Jadi istilah mental hygiene dimaknakan sebagai kesehatan mental atau jiwa yang dinamis bukan statis karena menunjukkan adanya usaha peningkatan. (Notosoedirjo & Latipun, 2001: 21).
Zakiah Daradjat (1985:10-14) mendefinisikan kesehatan mental dengan beberapa pengertian:
1.Terhindarnya orang dari gejala-gejala gangguan jiwa (neurose) dan dari gejala-gejala penyakit jiwa (psychose).
2.Kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan di mana ia hidup.
3.Pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan segala potensi, bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kepada kebahagiaan diri dan orang lain; serta terhindar dari gangguan-gangguan dan penyakit jiwa.
4.Terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem biasa yang terjadi, dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya.
Dengan berpijak pada pengertian di atas, kesehatan mental merupakan kemampuan diri-individu dalam mengelola terwujudnya keserasian antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri baik dengan dirinya sendiri, orang lain, maupun lingkungan sekitarnya secara dinamis dan mempunyai citra diri yang positif menjadi pribadi yang unggul dalam mencapai tujuan hidup yang bermakna.
Membicarakan pribadi yang unggul selalu dikaitkan dengan pembahasan kepribadian, di mana kepribadian (personality/syakhshiyah) sendiri tidak bisa dilepaskan dari konteks akhlak, meskipun terdapat perbedaan, yaitu syakhshiyah dalam psikologi berkaitan dengan tingkah laku yang didevaluasi (tidak dinilai baik-buruknya), yaitu tingkah laku yang tidak dapat dilihat dan diamati oleh orang lain, namun dapat diperkirakan dari gejala-gejala yang tampak dari perubahan ekspresi seseorang, seperti perasaan, cinta, benci dan sebagainya. Sedangkan akhlak berkaitan dengan tingkah laku yang dievaluasi, hal ini berkenaan dengan perbuatan baik-buruk yang membawa dampak langsung seperti prilaku terhadap orang tua, dan sikap ketika mengendalikan marah dan sebagainya. Pemilihan ini tidak berarti jika term syakhshiyah dihadapkan pada term islamiyah, karena syakhshiyah islamiyah harus difahami sebagai akhlak. Kata “Islam” yang menyertainya, memuat system nilai yang mengikat semua disiplin yang berada di dalamnya. Karena itu, kepribadian Islam selain mendiskripsikan tingkah laku seseorang juga berusaha menilai baik-buruknya.(Mujib & Jusuf Mudzakir, 2001: 37).
Menurut Sigmund Freud (1856-1939), seorang bapak psikolog dari aliran Psikoanalisa, kepribadian seseorang terstruktur atas tiga sistem pokok, yaitu:
1.Id (das es) adalah sistem kepribadian biologis yang asli, berisikan sesuatu yang telah ada sejak lahir. Ia merupakan reservoir energi psikis yang menyediakan seluruh daya untuk sistem ego dan super ego. Freud menyebut id dengan the true psychic reality (kenyataan psikis yang sebenarnya), karena id mempresentasikan dunia batin pengalaman subjektif dan tidak mengenal kenyataan objektif. Prinsip kerjanya adalah serba merngejar kenikmatan (pleasure principle) yang cenderung bersifat rasional, primitif, impulsif, dan agresif. Untuk menghindari ketidaknikmatan maka id mempunyai dua cara: pertama, refleks, yaitu reaksi-reaksi otomatis dalam tubuh, misalnya bersin, berkedip, dan sebagainya; kedua, proses primer, yaitu reaksi psikologis yang menghentikan tegangan melalui hayalan, seperti orang lapar membayangkan makanan.
2.Ego (das ich) adalah aspek psikologis kepribadian yang timbul karena kebutuhan organisme memerlukan transaksi dengan kenyataan objektif. Ego mengikuti prinsip kenyataan (reality principle) yang bersifat rasional logis dan reaksinya menurut proses skunder. Tujuan prinsip ini adalah mencegah terjadinya ketegangan sampai ditemukan suatu objek yang cocok untuk pemuasan kebutuhan. Ego disebut eksekutif kepribadian, karena ia mengontrol tindakan, memilih lingkungan untuk memberi respon, memuaskan insting yang dikehendaki dan berperan sebagai arbitrator atau pengendali konflik antara id dan super ego.
3.Super ego (das ueber ich) adalah aspek-aspek sosiologis kepribadian yang mengintegrasikan nilai-nilai moral dan cita-cita luhur. Ia mencerminkan yang ideal bukan riil, mengejar kesempurnaan dan bukan kenikmatan. Perhatian utamanya adalah membedakan yang benar dan yang salah dan memilih yang benar. Timbulnya super ego ini bersumber dari suara hati (conscience) sehingga fungsinya: (1) merintangi impuls-impuls seksual dan agresif yang aktualisasinya sangat ditentang masyarakat; (2) mendorong ego untuk lebih mengejar hal-hal yang moralitas daripada realistik; (3) mengejar kesempurnaan. Jadi super ego menentang ukuran baik-buruk id ataupun ego, dan membuat dunia menurut gambarannya sendiri yang tidak rasional bahkan menunda dan merintangi pemuasan insting.
(lihat Hall and Gardner, 1993:63-68,76; Suryabrata, 1990:145-149; Hartati,dkk, 2004:142-143)
Ketiga struktur tersebut sesuai prosesnya mengikuti prinsip yang berbeda, dalam keadaan biasa ketiga prinsip tidak saling bertentangan tetapi bekerja sama sebagai satu tim dengan diatur oleh ego. Id merupakan aspek biologis kepribadian, ego merupakan aspek psikologis kepribadian, dan super ego merupakan aspek sosiologis kepribadian. Namun, dinamika kepribadian ditentukan oleh cara energi psikis didistribusikan oleh ketiga stuktur ini yang tentunya kapasitasnya terbatas sehingga memunculkan semacam persaingan dalam menggunakan energi tersebut. Salah satu dari mereka akan mengontrol energi dengan mengorbankan kedua sistem lainnya.
Anotasi: Learning Styles (Gaya Belajar)
-
Anotasi Dianotasi oleh Imam Mawardi Rz
dariberbadga...
15 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar