Senyuman kehidupan

Jumat, Mei 16, 2008

Kesehatan Mental dan Dinamika Kepribadian dalam Islam - 2

Kesehatan Mental dan Dinamika Kepribadian dalam Islam (bagian 2)
Oleh Imam Mawardi

Dalam perspektif psikologi Islam, struktur kepribadian tidak bisa dilepaskan dari pembahasan dari substansi manusia itu sendiri, sebab dengan pembahasan substansi tersebut dapat diketahui hakekat dan dinamika prosesnya. Abdul Majid & Jusuf Mudzakir (2001:38-39) mengelompokkan ke dalam 3 substansi, yaitu substansi jasmani, substansi ruhani dan substansi nafsani. Hal ini berbeda pada umumnya para ahli yang membagi substansi manusia atas jasad dan ruh. Jasad tanpa ruh merupakan substansi yang mati, sedangkan ruh tanpa jasad tidak dapat teraktualisasi. Karena saling ketergantungan maka diperlukan perantara yang dapat menampung kedua unsur yang berlawanan, yang dalam terminology psikologi Islam disebut nafs. Dalam khasanah Islam nafs sendiri banyak pengertian: jiwa (soul), nyawa, ruh, konasi yang berdaya syahwat dan ghadhab, kepribadian, dan substansi psikofisik manusia. Namun maksud bahasan ini adalah pengertian terakhir, dimana nafs memiliki natur gabungan jasadi-ruhani (psikofisik)

Substansi nafs memiliki potensi gharizah, yaitu potensi bawaan yang ada pada psikofisik manusia yang dibawanya sejak lahir dan yang akan menjadi pendorong serta penentu bagi tingkah laku manusia, baik berupa perbuatan, sikap, ucapan, dan sebagainya. Tiga daya substansi nafsani manusia, yaitu: (1) kalbu (fitrah ilahiyah) sebagai aspek supra-kesadaran manusia yang memiliki daya emosi (rasa); (2) akal (fitrah insaniyah) sebagai aspek kesadaran manusia yang memilki daya kognisi (cipta); dan (3) nafsu (fitrah hayawaniyah) sebagai aspek pra atau bawah-kesadaran manusia yang memilki daya konasi (karsa). Ketiga komponen ini berintegrasi untuk mewujudkan satu tingkah laku. Dari sudut tingkatannya, kepribadian itu merupakan integrasi dari aspek-aspek supra-kesadaran (fitrah ketuhanan), kesadaran (fitrah kemanusiaan), dan pra atau bawah-kesadaran (fitrah-kebinatangan). Sedang dari sudut fungsinya, kepribadian merupakan integrasi dari daya-daya emosi, kognisi, dan konasi, yang terwujud dalam tingkah laku luar (berjalan, tersenyum, berbicara dan sebagainya) maupun tingkah laku dalam (pikiran, perasaan, dan sebagainya).( Mujib & Jusuf Mudzakir, 2001:47-58).

Struktur kejiwaan manusia bersumber dari peran ruh dan jasad dengan berbagai sifatnya. Tingkatan kepribadian tergantung kepada substansi mana yang lebih dominan menguasai manusia.

Sedangkan cara kerja nafsani manusia (Mujib & Jusuf Mudzakir, 2001: 63-67) lebih jelasnya dapat dilihat dari uraian berikut:

1.Kepribadian Ammarah (nafs al-ammarah) adalah kepribadian yang cenderung pada tabiat jasad dan mengejar pada prinsip-prinsip kenikmatan (pleasure principle), di sini manusia ditentukan oleh dua daya, yaitu: (1) daya syahwat (ingin birahi, kesukaan diri, ingin tahu dan campur tangan urusan orang lain, dsb.); dan (2) daya ghadhab (tamak, serakah, mencekal, berkelahi, ingin menguasahi yang lain, keras kepala, sombong, angkuh, dsb.) Jadi orientasi kepribadian ini adalah mengikuti sifat kebinatangan. Kepribadian ammarah dapat beranjak ke kepribadian yang baik apabila telah di beri rahmat Allah swt, menuju satu tingkat di atasnya yaitu kepribadian lawwamah dengan melalui latihan (riyadhah) khusus untuk menekan daya nafsu dari hawa. Allah swt berfirman: “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyeruh pada perbuatan buruk, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku” (QS. Yusuf:53)

2.Kepribadian Lawwamah (nafs al-awwamah) merupakan kepribadian yang didominasi oleh komponen akal yang mengikuti prinsip rasionalistik dan realistik yang membawa manusia pada tingkat kesadaran. Sebenarnya kedudukan kepribadian ini berada dalam kebimbangan antara kepribadian ammarah dan muthmainnah, kadang tumbuh perbuatan yang buruk, karena dapat cahaya kalbu kemudian sadar dan selanjutnya bertaubat. Firman Allah swt: “Dan aku bersumpah dengan jiwa yang menyesali” (QS. Al-Qiyamah:2)

3.Kepribadian Muthmainnah (nafs al-muthmainnah) adalah kepribadian yang telah diberi kesempurnaan nur kalbu, sehingga dapat meninggalkan sifat-sifat tercela dan tumbuh sifat-sifat yang baik, hal ini menjadikan tenang,”Hai kepribadian yang tenang, kembalilah pada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya” (QS. Al-Fajr:27-28), merasakan thuma’ninah (QS. Al-Ra’d:28). Kepribadian ini berbentuk enam kompetensi keimanan, lima kompetensi keislaman, dan multi kompetensi keihsanan.

Akhirnya, dengan mengedepankan nilai-nilai luhur kepribadian manusia berdasarkan daya kalbu dalam kehidupan sehari-hari akan tercermin sebagai tanda mental yang sehat. Adapun tanda-tanda mental yang sehat sendiri menurut Muhammad Mahmud Mahmud (1984:336-337) terdapat sembilan macam, yaitu;

1.Kamapanan (sakinah), ketenangan (al-thuma’ninah), dan rileks (al-rahah)/ keadaan batin yang santai dalam menjalankan kewajiban, baik kewajiban terhadap dirinya, masyarakat maupun Tuhan.(QS. Al-fath:4, Al-Ra’d:28)
2.Memadahi (al-kifayah) dalam beraktivitas (QS. Yasin:35)
3.Menerima keberadaan dirinya dan keberadaan orang lain (QS.al-Nisa’:32)
4.Adanya kemampuan untuk memelihara atau menjaga diri. (QS. Al-Nazi’at:40-41)
5.Kemampuan untuk memikul tanggung jawab, baik tanggung jawab keluarga, sosial maupun agama.(QS. An-Nahl:93)
6.Memiliki kemampuan untuk berkorban dan menebus kesalahan yang diperbuat.(QS. Al-Shaf:10-12)
7.Kemampuan individu untuk membentuk hubungan sosial yang baik yang dilandasi sikap- saling percaya dan saling mengisi. (QS.al-Hujurat:10)
8.Memiliki keinginan yang realistik, sehingga dapat diraih secara baik. Hal ini sesuai dengan hadits nabi yang mauquf riwayat Ibnu Qutaibah:”Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup untuk selamanya, dan beramalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau mati esok hari”.
9.Adanya rasa kepuasan, kegembiraan (al-farh/al-surur) dan kebahagiaan (al-sa’adah) dalam mensikapi atau menerima nikmay yang diperoleh. (QS. Yunus:58, Hud:108)

Dengan demikian pengembangan kesehatan mental terintegrasi dalam pengembangan kepribadian pada umumnya, dalam artian kondisi kejiwaan yang sehat merupakan hasil sampingan (by product) dari kondisi pribadi yang matang secara emosional, intelektual, dan sosial, serta terutama matang pula keimanan dan ketakwaanya kepada Allah swt. Maka, nyatalah bahwa pengembangan pribadi untuk meraih kualitas manusia sebagai pribadi, makhluk sosial dan sebagai hamba Allah di mana fikirannya sarat dengan hal-hal yang positif terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, hatinya dipenuhi dzikir atas ketakwaanya, serta sikap dan perbuatan mencerminkan nilai-nilai luhur ajaran Islam yang diaktualisasikan dalam kehidupan bermasyarakat.

Tidak ada komentar: